From Denis Toruan to you...

"For Travel Addict"

"For Travel Addict"
The only premium free magazine in Indonesia

03 May 2009

Krisis Finansial Global 2007-2009: Babak Baru Agenda Globalisasi


oleh: Denis L. Toruan


“…The defining defense system of the Cold War was radar - to expose the threats coming from the other side of the wall. The defining defense system of the globalization era is the X-ray machine – to expose the threats coming from within.”

- Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree (2000)


Krisis finansial global sudah menelan sederetan korban, dari MNC hingga rezim pemerintahan, seperti yang menimpa Islandia, Estonia, dan Latvia (Kompas, 22/3/2009). Proses penanganan krisis ini mengindikasikan peran dan intervensi pemerintah negara-negara dunia karena “market can’t rule themselves” (Joseph E. Stiglitz, Newsweek, 31 Desember 2008). The competition among states berjalan lebih alot dan kompleks lebih daripada yang lalu-lalu.


Belum selesai

Pada tahun 1992, Francis Fukuyama menerbitkan sebuah buku fenomenal yang berjudul The End of History and the Last Man. Intinya, secara garis besar terdapat dua hal penting yang dapat kita tarik dari karya Fukuyama itu. Pertama, kemenangan demokrasi liberal (AS dan sekutunya) atas blok komunis merupakan “end point of mankind’s ideological evolution” dan “final form of human government” sehingga proses sejarah manusia itu sendiri sudah mencapai puncaknya/tidak akan berubah lagi. Dan kedua yang tak kalah pentingnya, Fukuyama mengklaim secara sepihak tentang kemenangan kapitalisme-liberalisme dalam politik global. Dengan dasar tersebut dapat kita asumsikan untuk sementara bahwa jalan menuju integrasi-globalisasi (puncaknya adalah perdamaian universal) semakin mendekati kenyataan, dan proses sejarah umat manusia berjalan linear.

Nyatanya, wave of liberalism, khususnya dalam bidang perekonomian menghasilkan buah yang pahit bagi pertumbuhan ekonomi global saat ini. Dan yang paling ironis, krisis ini justru dimulai dari jantung kapitalisme-liberalisme itu sendiri, AS, sekaligus diakibatkan oleh kegagalan pasar dalam mengoreksi dirinya sendiri. Semua hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bahkan keraguan tentang peran hegemonik AS dan agenda globalisasi: Apakah tesis Fukuyama masih valid dan relevan? Apakah proses sejarah manusia itu, baik menurut proses evolusi sejarah Hegel atau Marx, sudah benar-benar berakhir dengan kenyataan yang ada sekarang? Perdamaian universal kembali di atas awang-awang, dan kemungkinan besar, impian menuju satu masyarakat global masih harus terus diperjuangkan.


Era Pragmatisme

Rezim Bretton Woods sudah lama ditinggalkan AS, tapi dolar AS masih tetap merupakan mata uang utama dalam transaksi perdagangan global. Banyak pemimpin negara, terutama dari UE yang mengeluhkan tentang ketergantungan terhadap greenback ini, mereka bahkan mengusulkan mereformasi institusi keuangan global dan/atau membuat regulasi ketat dalam pasar keuangan. Sementara the rising powers seperti China, contohnya, mengambil momentum ini dengan mengusulkan ide mengganti mata uang global dengan yuan-nya. AS, seperti yang sudah kita duga (dan memang wajar mengingat status hegemonnya), tetap bersikukuh dengan status quo. Padahal, jika kita mau kritis tentang langkah penanganan krisis negara-negara liberal, khususnya AS, menampakkan secara gamblang tentang intervensi negara dalam pasar, sesuatu yang jelas-jelas diharamkan, baik dalam “Washington Consensus” maupun ide liberalisme itu sendiri. Akan tetapi, langkah mereka cenderung pragmatis, mengingat AS memilih opsi intervensi bukan karena mereka memutar haluan ke doktrin Keynesianisme, contohnya, melainkan atas dasar alasan sederhana: “trickle down the crisis”. Negara-negara lain pun setali tiga uang. Krisis finansial yang berimplikasi masif telah sedikit banyak mengubah paradigma states dalam menghadapi kompetisi global. Gejala ini sudah tampak ketika China-Taiwan membuka hubungan dagang November silam, atau ketika UE yang notabene sekutu tradisional AS bersikeras menertibkan pasar modal dahulu sebelum mengucurkan dana segar ke pasar, atau ketika negara-negara berkembang seperti Indonesia mulai mencari alternatif greenback dengan menandatangani bilateral currency swap arrangement dengan China pada 23 Maret silam. Versi ekstrem liberalnya, sejumlah media liberal terkemuka seperti The Economist terbitan 7 Februari 2009 melalui artikel “The Return of Economic Nationalism” bahkan mulai membahas tentang potensi proteksionisme yang makin menguat, dan mendorong rezim Obama untuk segera menegakkan kepemimpinan global yang terus ‘dirongrong’ ini.


Di persimpangan jalan

Krisis finansial global memberikan semacam sinyal kewaspadaan pada negara-negara dunia (di luar AS) untuk setidaknya mempertimbangkan dua hal secara dalam-dalam. Pertama, globalisasi juga memiliki sisi kelamnya. Pengintegrasian mekanisme perekonomian global juga berarti “pengintegrasian segudang kecatatan domestik” menjadi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, wajar dipahami jika UE menginginkan adanya institusi pengawasan supranasional, atau paling tidak regulasi ketat. Kedua, intervensi negara ke dalam pasar sejauh ini memang dibutuhkan – membantu pasar domestik bangkit dari keterpurukan dan/atau mempersiapkan pasar domestik sebelum terjun menghadapi free-fight capitalism di tingkat global (Jacques B. Gelinas, 2003). Belum ditambah dengan kenyataan bahwa pasar terbukti ‘belum’ bisa mengoreksi dirinya sendiri.

Agenda globalisasi, terutama dalam hal dan dimulai dari bidang perekonomian itu sendiri, kini berada di persimpangan jalan: negara-negara dunia mau tetap bertahan dengan hegemoni liberalisme AS, atau kekuatan yang tersebar-sebar itu malah mengonsolidasikan dirinya melalui hubungan bilateral strategis seperti yang dicontohkan China-Indonesia, atau opsi regionalisme yang menawarkan keunggulan komparatif ala Adam Smith dkk, atau justru posisi AS sebagai hegemon itu sendiri lambat laun tergantikan (rezim baru, mekanisme baru)? Pola ini menarik untuk kita cermati, apalagi G-20 sudah mengeluarkan komunike multilateral pada 2 April 2009, dan segenap waktu/momentum lain yang ada sebelum sejarah manusia itu sendiri berakhir karena faktor-faktor eksternal, misalnya.

No comments:

Post a Comment