From Denis Toruan to you...

"For Travel Addict"

"For Travel Addict"
The only premium free magazine in Indonesia

28 June 2009

Peran Negara dan Langkah G-20 dalam Mengatasi Krisis Finansial Global 2008-2009


“…Goverment has a large role to play. The right mix of government and markets will differ between countries and over time... The list of potential arenas for government action is large. Today, nearly everyone agrees that government needs to be involved in providing basic education, ilegal frameworks, infrastructure, and some elements of social safety nets, and in regulating competition, banks, and environmental impacts.”

-Joseph E. Stiglitz1

I. The End of Ortodox Laissez-faire?

Kejatuhan blok timur (komunis) pada awal era 1990-an menandakan berakhirnya rivalitas yang sangat kental (Perang Dingin/the Cold War) antara dua superpower, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keadaan politik global pascaperang dingin menjadi berubah drastis; negara-negara di dunia dihadapkan pada skenario baru di mana satu hegemon tampil dominan dalam perpolitikan global, termasuk dalam bidang ekonomi.2 Pada waktu yang bersamaan, perkembangan kecanggihan teknologi informasi tidak berhenti tidak membalik (maintaining) agenda globalisasi.

Perkembangan politik global pascaperang dingin, khususnya secara ideologis, terdokumentasikan dengan baik salah satunya oleh Francis Fukuyama dalam karyanya yang sangat provokatif dan terkenal, The End of History and the Last Man (1992). Di situ, Fukuyama berargumentasi bahwa kapitalisme-liberalisme keluar sebagai pemenang absolut, dan bahwa proses sejarah manusia itu sendiri dikatakan sudah stagnan/berhenti.3 Dalam konteks clash of rivalry actors, argumen Fukuyama tersebut dapat diterjemahkan ke dalam bahasa realisme HI sebagai Hegemonic Stability Theory4 - AS merupakan satu-satunya hegemon yang masih bertahan pascaperang dingin. Institusi keuangan global (IMF, World Bank) yang ada juga didominasi oleh AS, dan aktivitas perekonomian global pun sedikit banyak mengadopsi model sistem ekonomi pasar. Dengan asumsi dasar seperti itu, dapat disimpulkan untuk sementara bahwa baik secara politik ataupun ekonomi keadaan global dapat berangsur-angsur menjadi lebih baik dibandingkan pada era Perang Dingin dan masa-masa sebelumnya lagi.

Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya - krisis finansial global merebak pada Juli 20075 di mana aktivitas perekonomian dunia berangsur-angsur lesu dan terpuruk, terburuk semenjak terjadinya Depresi Besar pada era 1930-an. Ironisnya, krisis ini justru dimulai/disebabkan oleh non-state actors yang beroperasi dalam cakupan global dan didukung oleh rezim laissez-faire ala Washington Consensus.6 Efeknya berimplikasi global, dan mengakibatkan negara-negara seliberal AS dan Uni Eropa sekalipun untuk mengintervensi pasar dengan memberikan bail-out kepada MNC-MNC mereka beserta paket stimulus untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Negara-negara berkembang juga turut merasakan dampak krisis, dan ‘terjun’ lebih dalam ke dalam mekanisme pasar, antara lain dengan paket stimulus dan inisiatif lainnya untuk menggenjot (dan menjaga) pertumbuhan ekonomi domestiknya. Dalam panggung ekonomi politik internasional, regionalisme negara-negara maju seperti UE contohnya, bersikeras menuntut penataan pergerakan kapital transnasional/global, sementara AS bersikukuh dengan status quo. Asumsi bahwa pasar (market) mengoreksi dirinya sendiri menjadi irelevan seiring berkembangnya zaman.7 Negara-negara dunia, terutama yang tergabung dalam G-20 yang menguasai 80% perdagangan global sepakat bertemu dalam konferensi tingkat tinggi (summit) pada 2 April 2009 di London, Inggris, untuk mencari solusi bersama terkait krisis finansial global. Fenomena ini menggarisbawahi adanya tendensi peran/intervensi negara (secara kolektif) dalam mekanisme pasar domestik maupun global, yang kita tahu bertentangan dengan asumsi dasar liberalisme (laissez-faire).


Berangkat dari latar belakang tersebut, tulisan sederhana ini berusaha mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

  1. Apa peran negara dalam agenda globalisasi (free-trade), khususnya terkait ekonomi politik internasional?
  2. Mencermati hasil yang didapat dari pertanyaan di atas, bagaimana peran G-20 dalam mengatasi krisis finansial global akibat free-trade tadi?
  3. Apakah fenomena intervensi G-20 dalam pasar, terutama sektor finansial menandakan berakhirnya era rezim laissez-faire ortodoks (monetarism policy) dalam mekanisme perekonomian global?

Dengan mengeksplorasi ketiga pertanyaan tersebut penulis bertujuan mencari tahu signifikansi peran negara dalam perekonomian global, khususnya terkait penanganan krisis finansial global pada kurun waktu 2007-2009.


1 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, (New York: W.W. Norton&Company, 2006).

2 Pertarungan ideologis dan sistem perekonomian dua adidaya (Perang Dingin) antara etatisme ala komunisme-sosialisme vis a vis pasar ekonomi terbuka (free trade) telah berakhir dengan kolapsnya Uni Soviet pada Desember 1991. AS bersama sekutunya masih bertahan hingga sekarang, sementara Uni-Soviet terpecah-pecah menjadi 17 negara.

3 Maksud Fukuyama adalah bahwa demokrasi liberal merupakan end point of mankind’s ideological evolution dan final form of human government sehingga proses sejarah manusia itu sendiri sudah mencapai puncaknya/tidak akan berubah lagi (baik menurut proses evolusi sejarah Hegel atau Marx).

4 Untuk penjelasan lebih mendalam mengenai Hegemonic Stability Theory, lih. contohnya Robert Gilpin, War and Change in World Politics, (New York: Oxford University Press, 16th edition 1999), terutama Bab V dan VI.

5 Wall Street Journal, "TED Spread spikes in July 2007", http://www.princeton.edu/~pkrugman/ted-spread-wsj.gif, diakses pada tanggal 29 Maret 2009.

6 AS adalah hegemon pengusung demokrasi liberal dan laissez-faire. Salah satu platform dasarnya adalah yang dikenal dengan nama “Washington Consensus”, lih. contohnya Ben Fine (ed.), Development Policy in the Twenty First Century: Beyond the Post Washington Consensus, (London: Routledge, 2001).

7 Menurut teori ekonomi klasik Adam Smith, harga pasar diciptakan keseimbangannya secara otomatis dan efisien karena digerakkan oleh dinamika persediaan (supply) dan permintaan/penawaran (demand) dalam pasar (market). Mekanisme dorongan keseimbangan tersebut disebut sebagai “the invisible hands”.


*Untuk membaca lebih lengkap atau ingin mengunduh tulisan ini silakan mengklik url link yang disediakan.

06 May 2009

Efektivitas Peran Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015



oleh: Denis L. Toruan

-sinopasxinica- 7/5/09


Setujukah Anda bahwa peran Indonesia dalam Kerja sama Ekonomi ASEAN sudah efektif?


Pertama-tama, perlu diklarifikasi terlebih dahulu substansi dari pertanyaan ini. Setidaknya saya bisa menangkap dua interpretasi yang dapat dikemukakan darinya, yakni pertama, efektivitas bagi integrasi regional (ASEAN); dan kedua, efektivitas bagi pembangunan domestik Indonesia itu sendiri (RI’s national interest).[1] Tulisan singkat ini akan menjawab dengan mengacu dari dua interpretasi tersebut.


I. Efektivitas Peran Indonesia dalam Kerja sama Regional


Indonesia sejauh ini sudah berpartisipasi aktif dalam mendorong perumusan Bali Concord II Oktober 2003 maupun Cebu Declaration 13 Januari 2007 yang kemudian mendorong percepatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN menjadi tahun 2015. Selain itu, Indonesia ikut meletakkan kerangka legal Piagam ASEAN (ASEAN Charter) pada 20 November 2007 sebagai basis komitmen. Politik luar negeri Indonesia pun juga jelas-jelas menyatakan bahwa ASEAN adalah batu penjuru bagi Indonesia sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia tidak mendorong peningkatan kerja sama regional tersebut. Dalam dinamika regionalnya, Indonesia terbilang cukup konsisten dengan fokusnya tersebut, seperti yang terlihat dari dua indikator sebagai berikut:

  1. Indonesia memegang teguh the ASEAN Way

RI belum pernah secara eksplisit mencampuri urusan domestik negara-negara tetangganya (non-intervention). Indonesia bahkan melakukan inisiatif dalam menampung korban pengungsi Rohingya, contohnya, yang kita tahu merupakan pendatang ilegal karena krisis internal di Myanmar.[2]

  1. Indonesia juga memainkan polugri bebas aktif dan konsep balance of power dalam kerja sama regional

Indonesia tetap mendorong partisipasi terbatas dari dua negara besar seperti Amerika Serikat dan China dalam kerja sama regional. Ini dapat terlihat dari forum multilateral seperti ASEAN Regional Forum. Terkhusus mengenai kerja sama ekonomi, Indonesia juga mendorong kerja sama intrakawasan dengan negara-negara maju seperti ASEAN+3, dan juga inisiatif bilateral mutualisme seperti bilateral currency swap dengan China,[3] PTA dan FTA dengan Jepang, dll. Selain itu, mitra-mitra tradisional seperti Jepang, AS, Uni Eropa, dan China juga tetap menjadi partner dagang utama ASEAN yang secara bersama-sama memiliki pangsa pasar sekitar 44% dari total perdagangan ASEAN hingga tahun 2005.[4]

Dari segi normatif dan kesiapan mengantisipasi MEA 2015, Indonesia mulai mendorong berdirinya lembaga-lembaga independen/institusi nasional seperti Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) maupun Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan Balai Latihan Kerja (BLK) untuk mengawasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, sekaligus membantu peningkatan kualitas tenaga kerja secara regional.[5] Apabila pemerintah RI bisa fokus terhadap isu ini, asumsi terakhir tidak mungkin tidak menjadi teori dan kontribusi baru dalam peningkatan kerja sama ekonomi regional. Dalam bidang finansial dan investasi, Indonesia yang notabene tergabung dalam forum G-20 dan baru saja menyepakati komunike bersama tentang krisis finansial global, aktif dalam mendukung penanganan krisis secara multilateral, termasuk dalam penyediaan cadangan siaga IMF dan reformasi IMF itu sendiri (termasuk mendorong Chiang Mai Iniative/CMI bagi sektor finansial regionalnya). Sayangnya, hingga tulisan ini diturunkan, pengumuman ‘menggembirakan’ tersebut belum sempat dibahas dan ditindaklanjuti secara tuntas dalam forum ASEAN berhubung gagalnya KTT ASEAN di Phattaya, Thailand awal April lalu yang disebabkan oleh krisis internal Thailand.

Dengan berkaca pada indikator-indikator seperti di atas, hemat saya Indonesia sudah berperan efektif dalam integrasi regional ASEAN; RI konsisten dalam melakukan kebijakannya, meski sekali lagi perlu ditekankan bahwa hal tersebut kembali berpulang pada kesadaran dan political will RI untuk menyukseskan kerja sama ekonomi regional secara tuntas (even and complete) dan bertanggung jawab.


II. Efektivitas Peran Indonesia Terkait Kepentingan Domestiknya


Sebagai negara anggota ASEAN dengan jumlah pasar potensial sebesar 220 juta jiwa (55% dari total populasi ASEAN) di kawasan bernilai ekonomi sebesar lebih dari 1,1 triliun dollar AS,[6] efektivitas peran Indonesia terhadap pembangunan domestiknya menjadi hal yang teramat penting untuk diabaikan begitu saja.

Kita semua tahu bahwa di atas kertas MEA 2015 akan membuka peluang bagi semakin bebasnya aliran modal, produk, jasa, hingga tenaga kerja ke seluruh kawasan ASEAN. Kesadaran itu sudah sepatutnya menjadi fokus RI dalam enam tahun yang tersisa sebelum konsep MEA 2015 itu benar-benar terealisasi. Implementasi konkretnya, RI masih harus memperbaiki playing field-nya, yakni seperti bagaimana meningkatkan kualitas/daya saing masyarakatnya, memperbaiki infrastruktur dan kerangka legal yang komprehensif, hingga meredifinisi politik luar negerinya. RI perlu membatasi dirinya pada kerja sama-kerja sama bilateral yang paling menguntungkan saja (terutama untuk jangka panjangnya), jangan sampai enam tahun yang tersisa malah terbuang sia-sia karena Indonesia belum sempat berbenah diri. Hal tersebut tidak berlebihan mengingat pamor dan kapabilitas (playing-field) negara besar seperti China mulai sedikit banyak ‘mendikte’ secara implisit orientasi ASEAN, sementara kekuatan pengimbang (balancing powers) seperti Jepang dan Korea Selatan mulai kedodoran, terutama setelah krisis finansial global menerjang.[7]

Proses pembenahan (management restructuring) ini masih terus berlangsung, dan membutuhkan perhatian serta kontribusi dari segenap aktor terkait, bukan hanya state actor itu sendiri. Salah satu indikator terbaik yang dapat saya kemukakan untuk menilai isu ini dapat dicermati dari neraca perdagangan RRI-RRC yang mulai timpang (harmful imbalance) hingga tahun 2008.[8] Indonesia harus benar-benar fokus terlebih dahulu terhadap kesiapan domestiknya. Dengan demikian, peran RI baru bisa efektif, terutama bagi segenap rakyat Indonesia yang menjadi konstituennya.


[1] ASEAN adalah “the cornerstone” (batu penjuru) bagi kebijakan luar negeri Indonesia, lih. www.deplu.go.id.

[3] http://www.bi.go.id/web/id/Ruang+Media/Berita/news_230309.htm, Gubernur Bank Indonesia, Dr. Boediono, dan Gubernur People’s Bank of China (PBC), DR. Zhou Xiaochuan, menandatangani perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) pada Senin, 23 Maret 2009. Kerjasama Rupiah-Renmimbi swap line ini setara dengan Rp 175 triliun/RMB100 miliar, dan berlaku efektif selama 3 tahun dengan kemungkinan perpanjangan atas persetujuan keduabelah pihak.

[4] Sjamsul Arifin (ed.), Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008), hlm. 74–75.

[5] Asumsinya adalah menurunkan probabilitas mobilitas ekspor tenaga kerja RI yang cenderung unskilled-labour, belum semuanya legit, dan berpotensi menjadi masalah/beban di negara lain. Lih. penjelasannya di ibid., hlm. 278-280.

[6] Ibid., hlm. 12.

[7] Untuk penjelasan lebih mendalam tentang integrasi ekonomi kawasan Asia Timur dan perubahan-perubahan strukturnya, lih. contohnya Guillaume Gaulier (et.al.), China’s Integration in East Asia: Production Sharing, FDI and High-Tech Trade, (France: Springer Science+Business Media, 2007).

[8] Data dapat diakses di http://www.depdag.go.id/index.php?option=statistik&task=table&itemid=06010202.

04 May 2009

Belajar dari China: Resep Kecil Pembangunan dan Kebangkitan Negara Berkembang*

*disarikan terutama dari bagian “penutup” buku Belajar dari Cina © I. Wibowo (2004) dan argumen pribadi penulis


oleh: Denis L. Toruan

(5/4/2009)

-Sinopaxsinica-


Serupa tapi tak Sama

RI dan China memiliki beberapa kemiripan identitas, seperti jumlah populasi penduduk yang besar-multiras, sama-sama pernah dijajah, sama-sama pernah mengalami masa otoritarian (meski China berlanjut secara terbatas hingga sekarang), sama-sama menganut politik luar negeri yang pragmatis-nasionalis, dll. Akan tetapi, mengacu dari faktor penduduk tersebut apa yang membuat keduanya begitu berbeda, terutama jika kita menyaksikan sendiri pertumbuhan ekonomi China yang terus meroket, sementara RI masih kedodoran menghadapi globalisasi?


Kombinasi Dua Faktor Besar

Bangsa China memiliki sejarah ribuan tahun panjang. Sejak awal, terutama dari daerah utara yang dikelilingi pegunungan, mereka terbiasa dengan konsep inward-looking (introvert). Tradisi ini terus berlanjut sepanjang sejarah kedinastian China di mana seorang kaisar dipercaya sebagai anak langit (Tianzi) sehingga orang-orang dan daerah-daerah jauh di luar kerajaannya harus memberikan upeti demi menghormati otoritas kekaisaran yang sah. Ketika pada masa moderen kedaulatan China yang superior itu ‘dibobol’ dan dipermalukan habis-habisan oleh bangsa-bangsa barat dalam kekalahan Perang Candu (1840), lalu wilayah-wilayah China dibagi atas beberapa daerah konsesi untuk negara-negara barat, semangat nasionalisme (aiguozhuyi) rakyat China meledak hebat, dan mempersatukan rakyat China untuk ‘membalas dendam’ atas penderitaan mereka. Semangat inspirasional ini terlihat dari ide-ide tokoh besar China seperti Sun-Yatsen, Lu Xun, Mao Zedong, hingga Deng Xiaoping dst, ketika mereka menggagas gerakan nasionalis revolusioner seperti Revolusi 1911 (xin hai geming), Gerakan 4 Mei (wusi yundong), Revolusi Kebudayaan (wenhua geming), hingga reformasi dan keterbukaan (gaige kaifang). Barangkali salah satu potret terbaik yang menangkap semangat menggebu-gebu China moderen adalah ujaran Deng Xiaoping: “zhi fu shi guangrong” (menjadi kaya itu mulia). Kombinasi antara ‘balas dendam’ (secara positif) dan sentuhan pragmatisme terbukti sukses mengantarkan China ke global level playing field sejauh ini.


Peran Negara dan Kebebasan Terbatas

Bangsa barat memiliki sejarah dan tradisi yang bisa dibilang jauh berbeda dari masyarakat timur (Asia). Dalam bidang ideologi dan ekonomi, resep laissez-faire (neolib) tidak serta merta memberikan hasil dan dampak yang sama bagi kemajuan negara-negara berkembang, apalagi kita semua menyaksikan sendiri kolapsnya perekonomian liberal (yang terlalu liberal) saat krisis finansial ini. China sangat mengerti akan hal tersebut. Oleh sebab itu, meskipun sudah membuka dirinya, aktif dalam rezim-rezim neolib (IMF, World Bank), serta gencar membuka hubungan FTA, China masih memegang kontrol makro atas perekonomiannya (hongguan taikong); aset-aset negara dipertahankan, bahkan sedikit banyak menerapkan proteksionisme (subsidi besar bagi BUMN dan UKM). Yang menarik, seperti yang didemonstrasikannya selama ini, China melawan barat dengan ala barat (mengingatkan saya akan konsep kungfu taichi yang memanfaatkan kekuatan serangan lawan). ^^ Washington Consensus vis a vis Beijing Consensus. Kata para pemimpin reformis China, “Privatisasi tapi tidak terlalu privat, deregulasi tapi tidak terlalu dideregulasi, dan tentunya, liberalisasi tapi tidak terlalu liberal.” Kombinasi antara laissez-faire dengan laissez-passer bukanlah sesuatu yang haram, bahkan ekonom sekaliber dan sekritis Joseph Stiglitz menyarankannya (Making Globalization Works, 2006)!


Penyesuaian Strategi Konstituen

Ada pendapat seorang penulis pendidikan dari China yang sangat menarik saya, “Salah satu kelemahan pendidikan kita (sehingga membuat anak-anak merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri/membenci dirinya) adalah kita terbiasa membandingkan kelebihan (anak lain) dengan kekurangan (anak kita), dan kelebihan (anak kita) dengan kekurangan (anak lain)à menyuburkan lingkaran setan ini. Tulisan ini masih jauh dari sempurna, tapi setidaknya saya berusaha menghindari jebakan yang sama yang menimpa banyak pakar dan analis.

Oleh sebab itu, bagaimanapun juga resep kecil ini berpulang kepada kesadaran, kecerdasan (local genious), serta kemauan total (complete self-surendering) dari segenap konstituen negara untuk menemukan ‘bahan bakar’-nya sendiri sebagai motor penggerak dan implementasi konkret yang menyadari (mawas diri) segenap kapabilitas negara, serta tujuan yang jelas dan realistis (tangible). Mengingat kembali apa yang dikatakan Thomas Friedman (The Lexus and the Olive Tree, 2000) pada awal milenium ketiga, “Globalization tends to turn all ‘allies’ and ‘enemies’ into ‘competitors’.” Interpretasi saya tidak muluk-muluk, negara mana pun yang ingin maju, apalagi negara berkembang, senantiasa harus mawas dan fleksibel terhadap tantangan-tantangan yang semakin bervariasi, tapi tidak melupakan akar sejarah dan values mereka. “Then, and only then shall we sweetly tasting (or harvesting) the fruits of globalization. It’s now or never!”

03 May 2009

Sejarah Singkat Perkembangan Hanzi (Kanji Mandarin)*


*dikutip dari buku teks pelajaran bahasa China, Chen Tianshun (eds.), Hanyu Yuedu Jiaocheng – Shang, (Beijing: Beijing Yuyuan Wenhua Daxue Chubanshe, 2002).


Hanzi merupakan salah satu bahasa tulis yang tertua di dunia. Perkembangannya menjadi bentuk yang kita kenal sekarang memakan waktu ribuan tahun. Secara garis besar, evolusi dan jenis-jenis Hanzi dapat dibagi atas enam macam, yaitu jiaguwen, jinwen, xiaozhuan, lishu, caoshu, kaishu, dan xingshu.

Hanzi yang paling awal muncul ditemukan pada jaman Dinasti Shang di dalam ukiran/pahatan pada tempurung kura-kura, tulang rusa, dan lain-lain. Oleh karena itu, orang-orang menyebutnya jiaguwen. Bentuknya sangat berbeda dengan Hanzi yang kita kenal sekarang dan sangat sulit untuk dipahami. Karakter pada jiaguwen bentuknya mirip lukisan karena diadopsi langsung berdasarkan objek/benda yang digambarkan, atau dengan kata lain dalam bentuk piktograf. Selain itu, Hanzi pada jiaguwen juga terdapat penggabungan materi-materi menjadi makna baru dengan konsep yang cukup rumit (ideograf).

Jinwen tercipta saat Cina mengalami jaman perunggu. Saat itu, penggunaan materi atau alat-alat berbasis perunggu sangat mendominasi kehidupan manusia. Karakter-karakter Cina banyak ditemukan pada alat-alat perunggu semacam ini, oleh karena itu disebut jinwen (saat itu jin/perunggu disebut tong). Struktur,komposisi maupun konstruksi Jinwen tidak jauh beda dengan jiaguwen.

Pada jaman negara-negara berperang atau Zhanguo shidai (475-221 SM) tiap-tiap negara kecil melakukan segala hal dengan cara-caranya sendiri, tidak terkecuali dengan penggunaan bahasa tulis. Setelah Kaisar Qin Shi menaklukkan dan mempersatukan Cina berdirilah dinasti Qin (221-207 SM). Kaisar Qin lalu melakukan penyeragaman bahasa tulis di seluruh daratan Cina dan menetapkan standar-standar tertentu untuk pertama kalinya. Pada era inilah xiaozhuan tercipta. Bentuknya cukup rumit dan masih sangat sulit untuk dapat dipahami.

Setelah dinasti Qin tumbang, dinasti Han muncul menguasai Cina. Pada era ini lishu diciptakan dan mengalami perubahan yang signifikan. Lishu menggunakan beberapa konsep dasar guratan dalam menulis karakternya seperti dian (titik), heng (garis horizontal), shu (garis vertikal), tie (garis melengkung ke kiri), na (garis melengkung ke kanan), dan lain-lain. Inilah dasar Hanzi yang kita kenal sekarang.

Tidak lama berselang, orang-orang mulai berpikir untuk menulis Hanzi dengan cepat dan terciptalah caoshu.

Bentuk lishu dan caoshu dianggap masih kasar dan tidak mudah dipahami. Kaishu kemudian diciptakan untuk mengatasi problematika ini. Bentuknya pas (cukup merepresentasikan materi atau ide yang ingin digambarkan), indah, dan mudah dipahami. Inilah bentuk hanzi yang kita kenal sekarang, terutama pada ragam penulisan surat kabar, majalah, dan buku-buku.

Bentuk penulisan kaishu sangat tegak dan kaku, untuk dapat menulisnya dengan benar memakan waktu lebih. Hal ini menjadi masalah bagi orang-orang yang dalam profesinya membutuhkan kecepatan menulis seperti wartawan dan sebagainya. Tidak jarang mereka masih menggunakan konsep caoshu dalam menulis kaishu, yaitu menulis dengan cepat. Hasilnya tidak seindah kaishu dan tidak jarang hanya penulisnya sendiri yang dapat memahami karakter-karakter ini. Inilah yang disebut dengan xingshu. Orang-orang jaman sekarang pada umumnya sudah menggunakan xingshu.

Krisis Finansial Global 2007-2009: Babak Baru Agenda Globalisasi


oleh: Denis L. Toruan


“…The defining defense system of the Cold War was radar - to expose the threats coming from the other side of the wall. The defining defense system of the globalization era is the X-ray machine – to expose the threats coming from within.”

- Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree (2000)


Krisis finansial global sudah menelan sederetan korban, dari MNC hingga rezim pemerintahan, seperti yang menimpa Islandia, Estonia, dan Latvia (Kompas, 22/3/2009). Proses penanganan krisis ini mengindikasikan peran dan intervensi pemerintah negara-negara dunia karena “market can’t rule themselves” (Joseph E. Stiglitz, Newsweek, 31 Desember 2008). The competition among states berjalan lebih alot dan kompleks lebih daripada yang lalu-lalu.


Belum selesai

Pada tahun 1992, Francis Fukuyama menerbitkan sebuah buku fenomenal yang berjudul The End of History and the Last Man. Intinya, secara garis besar terdapat dua hal penting yang dapat kita tarik dari karya Fukuyama itu. Pertama, kemenangan demokrasi liberal (AS dan sekutunya) atas blok komunis merupakan “end point of mankind’s ideological evolution” dan “final form of human government” sehingga proses sejarah manusia itu sendiri sudah mencapai puncaknya/tidak akan berubah lagi. Dan kedua yang tak kalah pentingnya, Fukuyama mengklaim secara sepihak tentang kemenangan kapitalisme-liberalisme dalam politik global. Dengan dasar tersebut dapat kita asumsikan untuk sementara bahwa jalan menuju integrasi-globalisasi (puncaknya adalah perdamaian universal) semakin mendekati kenyataan, dan proses sejarah umat manusia berjalan linear.

Nyatanya, wave of liberalism, khususnya dalam bidang perekonomian menghasilkan buah yang pahit bagi pertumbuhan ekonomi global saat ini. Dan yang paling ironis, krisis ini justru dimulai dari jantung kapitalisme-liberalisme itu sendiri, AS, sekaligus diakibatkan oleh kegagalan pasar dalam mengoreksi dirinya sendiri. Semua hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bahkan keraguan tentang peran hegemonik AS dan agenda globalisasi: Apakah tesis Fukuyama masih valid dan relevan? Apakah proses sejarah manusia itu, baik menurut proses evolusi sejarah Hegel atau Marx, sudah benar-benar berakhir dengan kenyataan yang ada sekarang? Perdamaian universal kembali di atas awang-awang, dan kemungkinan besar, impian menuju satu masyarakat global masih harus terus diperjuangkan.


Era Pragmatisme

Rezim Bretton Woods sudah lama ditinggalkan AS, tapi dolar AS masih tetap merupakan mata uang utama dalam transaksi perdagangan global. Banyak pemimpin negara, terutama dari UE yang mengeluhkan tentang ketergantungan terhadap greenback ini, mereka bahkan mengusulkan mereformasi institusi keuangan global dan/atau membuat regulasi ketat dalam pasar keuangan. Sementara the rising powers seperti China, contohnya, mengambil momentum ini dengan mengusulkan ide mengganti mata uang global dengan yuan-nya. AS, seperti yang sudah kita duga (dan memang wajar mengingat status hegemonnya), tetap bersikukuh dengan status quo. Padahal, jika kita mau kritis tentang langkah penanganan krisis negara-negara liberal, khususnya AS, menampakkan secara gamblang tentang intervensi negara dalam pasar, sesuatu yang jelas-jelas diharamkan, baik dalam “Washington Consensus” maupun ide liberalisme itu sendiri. Akan tetapi, langkah mereka cenderung pragmatis, mengingat AS memilih opsi intervensi bukan karena mereka memutar haluan ke doktrin Keynesianisme, contohnya, melainkan atas dasar alasan sederhana: “trickle down the crisis”. Negara-negara lain pun setali tiga uang. Krisis finansial yang berimplikasi masif telah sedikit banyak mengubah paradigma states dalam menghadapi kompetisi global. Gejala ini sudah tampak ketika China-Taiwan membuka hubungan dagang November silam, atau ketika UE yang notabene sekutu tradisional AS bersikeras menertibkan pasar modal dahulu sebelum mengucurkan dana segar ke pasar, atau ketika negara-negara berkembang seperti Indonesia mulai mencari alternatif greenback dengan menandatangani bilateral currency swap arrangement dengan China pada 23 Maret silam. Versi ekstrem liberalnya, sejumlah media liberal terkemuka seperti The Economist terbitan 7 Februari 2009 melalui artikel “The Return of Economic Nationalism” bahkan mulai membahas tentang potensi proteksionisme yang makin menguat, dan mendorong rezim Obama untuk segera menegakkan kepemimpinan global yang terus ‘dirongrong’ ini.


Di persimpangan jalan

Krisis finansial global memberikan semacam sinyal kewaspadaan pada negara-negara dunia (di luar AS) untuk setidaknya mempertimbangkan dua hal secara dalam-dalam. Pertama, globalisasi juga memiliki sisi kelamnya. Pengintegrasian mekanisme perekonomian global juga berarti “pengintegrasian segudang kecatatan domestik” menjadi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, wajar dipahami jika UE menginginkan adanya institusi pengawasan supranasional, atau paling tidak regulasi ketat. Kedua, intervensi negara ke dalam pasar sejauh ini memang dibutuhkan – membantu pasar domestik bangkit dari keterpurukan dan/atau mempersiapkan pasar domestik sebelum terjun menghadapi free-fight capitalism di tingkat global (Jacques B. Gelinas, 2003). Belum ditambah dengan kenyataan bahwa pasar terbukti ‘belum’ bisa mengoreksi dirinya sendiri.

Agenda globalisasi, terutama dalam hal dan dimulai dari bidang perekonomian itu sendiri, kini berada di persimpangan jalan: negara-negara dunia mau tetap bertahan dengan hegemoni liberalisme AS, atau kekuatan yang tersebar-sebar itu malah mengonsolidasikan dirinya melalui hubungan bilateral strategis seperti yang dicontohkan China-Indonesia, atau opsi regionalisme yang menawarkan keunggulan komparatif ala Adam Smith dkk, atau justru posisi AS sebagai hegemon itu sendiri lambat laun tergantikan (rezim baru, mekanisme baru)? Pola ini menarik untuk kita cermati, apalagi G-20 sudah mengeluarkan komunike multilateral pada 2 April 2009, dan segenap waktu/momentum lain yang ada sebelum sejarah manusia itu sendiri berakhir karena faktor-faktor eksternal, misalnya.

02 May 2009

Peran Kaum Reformis China dalam Keanggotaan China di WTO


oleh: Denis L. Toruan


I. Bangkitnya China dan Rezim Internasional

Pada era Perang Dingin, rivalitas antara blok barat dan blok timur dalam berbagai bidang begitu kuat. Contohnya saat AS bersama sekutu-sekutunya berusaha memblokade dunia dari “bahaya komunis” yang saat itu dipimpin Uni Soviet. Dalam tingkat internasional, ini terlihat dari berbagai doktrin AS seperti Marshall Plan (1947), maupun rezim internasional seperti Bretton Woods (1944) yang kemudian melahirkan International Monetary Fund (1945) dan World Bank (1944), General Agreement on Trade and Tariff/GATT (sekarang World Trade Organization/WTO) pada tahun 1948, Washington Consensus (1989), hingga pakta pertahanan seperti NATO (1949). Pada dasarnya, metode-metode politis tersebut berfungsi untuk mengamankan kepentingan AS dan sekutunya, sekaligus menghadang meluasnya doktrin komunisme ke dunia itu. Salah satu buktinya terlihat dalam bidang ekonomi di mana rezim WTO (berdiri 1 Januari 1995) yang kini beranggotakan atas 128 negara anggota jelas merupakan kelompok eksklusif masyarakat internasional yang memberikan hak-hak istimewa kepada negara-negara anggotanya seperti pembukaan hubungan dagang antarnegara anggota, penghapusan/peminimalisasian bea masuk impor, beserta kewajiban negara anggota berupa syarat-syarat keanggotaan yang tentunya tidak ringan.[1]

Sejak tahun 1991 pascakeruntuhan Uni Soviet, struktur politik global berubah total. Dunia sudah tidak lagi terbagi atas dominasi blok barat atau pun blok timur. Negara-negara kapitalis dengan Amerika Serikat sebagai garda terdepannya, dalam banyak aspek tampak berhasil ‘mengepung’ dan menyudutkan negara-negara komunis-sosialis yang tersisa, termasuk Republik Rakyat China (RRC) tanpa kecuali. Hal yang mengejutkan adalah bahwa Republik Rakyat China (RRC) yang sebelumnya diramalkan bakal kolaps mengikuti jejak sekutu utamanya, Uni Soviet, justru malah ‘memeluk erat-erat’ rezim internasional seperti WTO yang notabene ‘rekayasa’ AS beserta para sekutunya, dan menciptakan prestasi fenomenal di kalangan dunia internasional. Dalam dinamikanya, China yang baru saja berhasil menjadi tuan rumah Olimpiade Agustus 2008 lalu di Beijing dengan pembiayaan even yang terbesar sepanjang sejarah pesta olimpiade[2] dan mengirimkan astronotnya untuk melakukan space-walk (2008), tampak sangat ‘nyaman’ dengan keanggotaannya di berbagai rezim internasional dengan tumpukan cadangan devisa sebesar 1,81 trilyun USD hingga Oktober 2008,[3] dan relatif aman dari krisis finansial global yang terjadi baru-baru ini. Kontras sekali keadaannya dibandingkan AS dan negara-negara barat lain yang sibuk menggelontorkan dan menghimpun dana dalam aksi bail-out beramai-ramai demi menyelamatkan sistem finansialnya.[4]

Dikaji dari sudut pandang teori hubungan internasional, dalam menyikapi prestasi fenomenal China itu pertanyaan-pertanyaan kritis yang terbentuk, antara lain adalah:

1. Bagaimana proses keterlibatan China dalam rezim internasional seperti WTO?

2. Bagaimana China sukses mengawinkan antara kepentingan nasional/national interest-nya dan warisan ideologi komunisme-sosialisme oleh ketua Mao (毛泽东 Mao Zedong) 60 tahun silam?

3. Sampai sejauh mana pendekatan liberalis dapat memandang contoh kasus China ini, terutama terkait keanggotaannya dalam WTO?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi landasan pembahasan makalah.


II. Sejarah Singkat Hubungan China dan WTO

Sebelumnya, perlu disepakati terlebih dahulu bahwa diksi “China” dalam praktik sehari-harinya bersifat kontekstual. [5] Namun, dalam makalah ini sebagian besar diksi “China” mengacu pada RRC (China daratan).

Pada tahun 1948 ketika daratan China masih dikuasai oleh Partai Nasional China/PNC (国民党 Guomindang), hubungan antara China dan rezim internasional sudah dimulai. Saat itu, Republik China (ROC) yang berkiblat kepada AS terlibat langsung dalam proses perdagangan bebas melalui pembentukan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tanggal 19 Mei 1948. Sejak saat itu, era perdagangan bebas global rekayasa AS bersama para sekutunya secara resmi telah dimulai. Peran GATT secara resmi digantikan oleh World Trade Organization (WTO) pada tanggal 1 Januari 1995. WTO merupakan suatu rezim perdagangan global yang bernaung di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa/PBB yang menganut aturan perdagangan bebas yang kurang lebih sama dengan apa yang GATT punya; Bedanya terdapat pada revisi secara teoritis mengenai aturan-aturan baku pada badan tersebut.[6]

Setelah kaum komunis China merdeka pada tahun 1949, pemerintahan Taiwan mengumumkan pengunduran diri dari keanggotaan GATT pada tanggal 5 Maret 1950. Tidak lama setelah Taiwan memisahkan diri dari pemerintahan Beijing, Taiwan mengajukan lamaran sebagai peninjau dalam GATT. Lamaran tersebut disetujui, namun pada tahun 1971 Taiwan dikeluarkan dari GATT karena kebijakan PBB yang mengubah status dan kedudukan Taiwan di PBB. Alasan politis semacam ini dilatarbelakangi oleh kepentingan PBB terhadap RRC yang memandang bahwa pemerintahan China yang resmi adalah pemerintahan di bawah kepemimpinan PKC, terlebih karena China adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Walaupun Taiwan sudah dikeluarkan dari keanggotaan GATT, China belum tertarik untuk menjadi anggota GATT, terutama akibat meletusnya Revolusi Kebudayaan (文化革命 wenhua geming) di China pada periode 1966-1976 yang dicetuskan oleh Ketua Mao.[7]

Setelah Deng Xiaoping 鄧小平 dari kubu reformis menduduki posisi puncak pemerintahan China pada tahun 1976, China membuka dirinya terhadap dunia luar dengan menerapkan Reformasi Pintu Terbuka (gaige kaifang). Kemudian China mulai bergabung dengan organisasi-organisasi ekonomi internasional, seperti World Bank International Monetary Fund (Desember 1945), dan lain-lain. Ambisi dan semangat berapi-api China untuk meneruskan agenda gaige kaifang membuatnya semakin terdorong untuk bergabung kembali dengan GATT. Oleh karena itu, pada tahun 1980 China mengajukan diri sebagai anggota peninjau GATT. Lamaran tersebut baru disetujui dua tahun sesudahnya.

Pada tahun 1986, RRC mengajukan lamaran diri sebagai anggota penuh GATT. Sebagai langkah awal, kedua pihak (China dan GATT) menyiapkan beberapa hal. RRC menyerahkan memorandum tentang kondisi perdagangannya. GATT sendiri pada tahun 1987 membentuk kelompok kerja untuk China yang bertugas meneliti perdagangannya dan menyusun aturan-aturan protokol mengenai hak-hak dan kewajiban China dalam GATT. Akan tetapi, semua persiapan yang telah dibangun oleh kedua pihak selama kurang lebih tiga tahun menjadi mubazir karena terjadi peristiwa Tian’anmen pada tanggal 4 Juni 1989.[8]

Pada tahun-tahun setelah 1992, sistem perekonomian dan pembangunan nasional China sekali lagi mengalami banyak pembaharuan, terlebih setelah adanya peristiwa bersejarah yang dikenang rakyat China sebagai “ucapan nanxun”.[9] Gebrakan Deng ini mengakibatkan perubahan drastis dalam sistem perdagangan dan permodalan China. Perdagangan luar negeri mengalami peningkatan yang signifikan. Hal serupa juga dirasakan pada sektor investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI). Dengan pembaharuan sistem perekonomiannya tersebut, China aktif kembali dalam mengajukan lamaran keanggotaan GATT.

Pada tanggal 1 Januari 1995 WTO menggantikan peran GATT. Secara otomatis, kelompok kerja untuk China saat itu berada di bawah naungan WTO. Kelompok kerja inilah yang mengeluarkan beberapa persyaratan untuk China terkait proses integrasinya dengan WTO.[10]

China merasa persyaratan-persyaratan tersebut terlalu berat baginya sehingga mulai kehilangan gairah untuk bergabung dengan WTO, bahkan sempat mengumumkan tidak ingin lagi melakukan perundingan bilateral dengan WTO. Namun, semua hal tadi mulai berubah sejak berakhirnya Perang Dingin. Amerika Serikat menyatakan akan mendukung lamaran RRC sebagai anggota WTO. Dari segi ekonomis, hal ini dilakukan AS dengan pertimbangan rasional bahwa China merupakan pasar yang sangat besar (seperlima penduduk dunia) dan sangat potensial bagi bermacam-macam produk barang dan jasanya. Akhirnya setelah melalui berbagai perundingan yang alot, pada tanggal 17 September 2001 WTO menyetujui permohonan keanggotaan RRC dalam WTO. Setelah itu, pada saat konferensi Menteri WTO di Doha, Qatar tanggal 10 November 2001, perjanjian antara China dan WTO diresmikan. Dan sebulan setelah itu, tepatnya tanggal 11 Desember 2001, China dinyatakan secara resmi sebagai salah satu negara anggota WTO.


III. Latar Belakang dan Tujuan China Menjadi Anggota WTO

Pada awalnya, pertimbangan dan tujuan China menjadi anggota WTO adalah alasan ekonomis semata, yakni sebagai wahana untuk mencapai akselerasi industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. China menginginkan pembukaan pasar global sehingga produk-produk ekspornya bisa masuk dan sekaligus investasi asing bisa menggairahkan perekonomian negara yang dikatakan berada pada tahap awal sosialisme itu.[11] Beberapa tujuan konkret China atas keanggotaannya di WTO, antara lain:

1. Mempermudah ekspor Cina ke negara-negara anggota WTO lainnya, terutama pasar AS dan Uni Eropa;

2. Menghapus batasan perdagangan dan memperluas akses pasar bagi barang-barang domestik dan luar negeri;

3. Mencapai industrialisasi secara cepat (revolusi industri) dan alih teknologi negara maju;

4. Meningkatkan pendapatan dalam negeri dari sektor ekspor dan investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI); dan

5. Memperoleh prestise di mata dunia internasional.

Khusus mengenai poin kelima ini, meminjam istilah yang dikemukakan sinolog I. Wibowo, China juga akan menikmati “keuntungan kasat mata/intangible benefits melalui jalur keanggotaan WTO. [12]

Berikut beberapa keuntungan konkret yang sudah dinikmati China setelah bergabung dengan WTO, antara lain:[13]

1. Hingga tahun 2002, China memiliki hubungan dagang bebas dengan 127 negara anggota WTO lainnya;

2. Peningkatan industrialisasi China dan alih teknologi tingkat tinggi berhubung semaking terbukanya investasi asing;

3. Penghargaan yang semakin tinggi terhadap hak kekayaan intelektual (HAKI), hak paten produk/trademark, dll sehingga rakyat China bisa lebih kreatif, inovatif, dan berkompetisi secara sehat dalam sistem yang melindungi karyanya;

4. Otoritas dan rakyat China di satu sisi diuntungkan oleh pemasukan berbagai jenis pajak baru dan arus investasi asing yang masuk;

5. Semakin meningkatkan sumber daya manusia (SDM) rakyat China, dan lain-lain.


IV. Mengkaji Kesuksesan China dalam Rezim Internasional

WTO merupakan salah satu rezim internasional yang dituding negatif oleh banyak pihak karena terlalu menguntungkan kepentingan negara-negara maju, dan merugikan negara-negara berkembang yang mayoritas ‘gagap’ berkompetisi karena kalah bersaing dalam hal modal, teknologi, arus informasi, lintas jasa, SDM, dan lain-lain.[14] Tidak hanya itu, pada pandangan ekstrem rezim-rezim global seperti IMF dan World Bank dianggap sebagai ‘serigala berbulu domba’ yang cenderung membuka dunia ketiga demi kepentingan negara-negara maju, daripada tujuan dasarnya mengurangi tingkat kemiskinan global.[15] Namun, kartu ini ternyata berhasil dimainkan China, dan China tidak ‘tenggelam’ dalam alur permainan rezim WTO. Sejauh mana teori HI dapat memandang fenomena ini?

Pada dasarnya, menurut hemat saya keberhasilan China dalam memanfaatkan tantangan globalisasi setidaknya dapat dipandang dalam dua pendekatan, yaitu:

1. Menurut pendekatan liberalis; dan

2. Peran kubu reformis dalam decision-making Partai Komunis China.


IV.I. Perspektif Liberalis dalam Memandang China dan WTO

Definisi “rezim”, antara lain:

  • Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan “rezim” adalah tata pemerintahan negara; pemerintahan yg berkuasa.[16]
  • Sedangkan, dalam bidang politik rezim berarti bentuk pemerintahan; seperangkat aturan, norma-norma sosial atau kebudayaan yang mengatur jalannya suatu pemerintahan dan interaksinya dengan masyarakat.
  • Dalam studi Hubungan Internasional ada satu pendekatan utama terkait rezim ini, yakni pendekatan liberalis. Menurut tradisi liberalis, contohnya seperti yang dikemukakan Robert Keohane, rezim/institusionalisasi yang dilandasi oleh kerja sama adalah “Institutions possesing norms, decision rules, and decisionmaking procedures which facilitate a convergence of expectations.”[17]


Tabel 1

Pandangan dasar tradisi pluralisme/liberalisme dalam Teori Hubungan Internasional

No.

Dasar asumsi

Perspektif Liberalisme/Pluralisme

1.

Unit analisis

Aktor negara dan aktor nonnegara sama pentingnya

2.

Cara pandang aktor

Aktor negara dipecah ke dalam beberapa komponen, beberapa di antaranya dapat bertindak secara transnasional

3.

Dinamika perilaku aktor

Pembuatan kebijakan luar negeri dan proses-proses transnasional melibatkan konflik, tawar-menawar, koalisi, dan kompromi

4.

Isu utama

Sosial ekonomi, tingkat kesejahteraan, dll yang dianggap lebih penting daripada isu keamanan nasional semata

Sumber: Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), hlm. 10.


Seperti yang dijabarkan Keohane, pendekatan liberalis dalam memandang rezim menekankan tentang pentingnya keberadaan rezim/institusi (di luar aktor negara) yang dapat memengaruhi aktor negara/aktor-aktor internasional lainnya (perspektif negara/state sebagai nonsatu-kesatuan aktor/non-unitary unit yang bisa dipecah). Asumsi dasarnya adalah bahwa bentuk kerja sama antarnegara merupakan norma/etika/value yang mendasari pencapaian kepentingan/national interest-nya. Dapat dikatakan, rezim menurut perspektif liberalis adalah bentuk kerja sama internasional.

Sesuai dengan definisi dasarnya, rezim mencakup berbagai bentuk isu internasional, dan biasanya satu rezim terfokus pada satu isu tertentu dengan anggota-anggota yang tidak hanya terdiri dari negara.

Berangkat dari pendekatan interest-based liberalis, dalam konteks ini dikatakan bahwa WTO bisa berjalan tanpa satu kekuatan hegemon tertentu sebab terdapat “convergence of expectations” atau yang saya interpretasikan sebagai “ekspektasi/harapan dari masing-masing konstituen rezim yang terkumpul dalam satu wadah pertemuan”. WTO sebagai rezim memfasilitasi kerja sama dengan menciptakan standar-standar tertentu bagi para anggotanya. Ketika semua anggota negara berharap agar partisipan lain bekerja sama maka kemungkinan melangsungkan kerja sama secara konstan dapat terus meningkat. Jadi, tidak sepenuhnya benar dikatakan bahwa konflik adalah dasar dari sistem anarki dunia yang diyakini oleh kaum realis. Kaum neoliberal sendiri mengatakan bahwa para realis mengabaikan suatu tahap di mana negara-negara bersedia berbagi kepentingannya dengan negara lain, dan memiliki sifat hubungan/interaksi internasional yang dilakukannya berulang-ulang kali.

Terkhusus mengenai kesuksesan China dalam rezim internasional, pendekatan liberalis dalam teori rezim merupakan salah satu kunci dalam menjelaskan kepragmatisan China. China sebagai aktor negara tidak menyangkal adanya bentuk kerja sama internasional, terutama dalam bidang ekonomi, bahkan dengan rezim terdiktator di dunia sekalipun, seperti beberapa negara di Afrika.[18] Hal ini yang tidak akan dilanggar oleh perusahaan multinasional (MNC) AS atau Uni Eropa ‘seliberal’ apa pun. Negara-negara barat, terutama AS sangat kegerahan dengan politik luar negeri nasionalis-pragmatis China itu. Berkali-kali presiden Hu Jintao mengelak dari tudingan-tudingan negatif dengan mengeluarkan jargon-jargon seperti “Tanpa syarat politik apa pun, murni kepentingan bisnis” hingga jargon “hexie shijie atau hexie shehui (masyarakat dunia yang harmonis)”. Agen-agen pembangun ekonomi China tersebar ke seluruh dunia, seringkali tanpa pandang bulu latar belakang mitra bisnisnya. Mereka tidak terlalu ambil pusing dengan embel-embel seperti “demokrasi” yang diusung AS selama ini. Semangat pragmatis China dalam mengejar kekayaan dan kemuliaan (termasuk prestise di mata internasional) terpatri dalam-dalam di hati rakyat China.

Sebenarnya, pengadopsian ideologi dan sistem yang serba baru ini sudah tercermin dari tiga ujaran populer oleh Deng Xiaoping sejak dua dekade lalu, yaitu “sosialisme tidak berarti kemiskinan, sosialisme justru melenyapkan kemiskinan”, “tidak peduli kucing hitam atau putih, selama dia bisa menangkap tikus”, dan “zhi fu shi guangrong (menjadi kaya itu mulia)”. Dengan dasar-dasar fundamental itu, arah politik domestik dan internasional China kemudian berubah total, khususnya setelah tahun 1978. Dalam dinamikanya, di satu sisi pemerintah China tetap memegang kontrol makro (hongguan tiaokong) dan membangun kerja sama internasional dengan siapa saja yang penting bagi national interest-nya, dan di satu sisi menghalalkan (bahkan mendorong) praktik kapitalisme di negaranya.[19]

Contoh konkret lain dapat kita lihat ketika China merapatkan kerja sama bilateral secara ekonomi dengan Taiwan. Tanggal 3 November 2008 akan dikenang sebagai hari yang bersejarah bagi rakyat China dan Taiwan ketika Chen Yunlin dan Ma Ying-jeou untuk kali pertama bertemu secara diplomatik setelah sejarah 60 tahun yang kelam bagi hubungan bilateral kedua negara.[20] Pada hari itu juga, China dan Taiwan sepakat untuk tidak membicarakan isu politik, dan membuka kerja sama ekonomi seperti penambahan jalur penerbangan reguler, layanan pos langsung, penerbangan kargo langsung, isu keamanan produk pangan, hubungan perkapalan, dll.

Akan tetapi, pendekatan liberalis dalam konteks ini bukan tanpa kelemahan. Pemerintah China adalah aktor negara/state actor yang sangat dominan dalam hampir semua aspek. Bahkan semua perusahaan multinasional (mayoritas adalah BUMN) yang menjadi ujung tombak dan agen pembangunan ekonomi bukan milik swasta (dikendalikan secara ketat oleh negara).[21] Pendekatan liberalis dalam teori rezim dan cara memandang kesuksesan China hanya terletak pada kemampuannya untuk menjelaskan indikator kepragmatisan China dalam memperjuangkan national interest-nya, serta variabel penjelas dalam perspektif liberalis yang memecah otoritas China menjadi beberapa unit yang dapat dipengaruhi pihak-pihak lain. Dalam konteks kesejarahannya, ada tendensi bahwa China melawan kekuatan barat dengan ala barat juga, sesuatu yang sudah lazim terjadi bahkan sejak sistem dinasti/kekaisaran China tumbang.[22]

Apabila ditanyakan, apakah benar bahwa rezim itu (WTO) memengaruhi otoritas China? Jawaban saya adalah iya. Tapi hingga sejauh mana? Perlu digarisbawahi bahwa terdapat derajat kepentingan tertentu antara rezim internasional dan state ini. Bagi China, seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, WTO hanya sebatas kendaraan yang memfasilitasi politik luar negeri dan national interest-nya. China mungkin bersedia tunduk pada standar-standar yang ditetapkan WTO, tapi China yang hingga saat ini dianggap tidak patuh penuh kepada WTO (uneven and incomplete),[23] ternyata memiliki ambisi sendiri untuk mengubah rezim WTO ‘dari dalam’ sesuai dengan kepentingan China. China yang ditekan oleh anggota WTO lain, terutama AS, tidak akan-akan terburu-buru ‘taat’ pada tekanan AS atau negara mana pun. Bukan tidak mungkin, China yang kekuatan ekonominya semakin meraksasa dari waktu ke waktu dapat merapatkan barisan negara-negara berkembang dalam memengaruhi pembuatan pasal-pasal WTO yang selama ini selalu didikte oleh negara-negara maju.[24]

Sedangkan bagi WTO yang dengan catatan didominasi oleh negara-negara maju (AS, Uni Eropa, dan Jepang), pertimbangan awal memasukkan China ke dalam keanggotaan WTO adalah agar mereka dapat menikmati barang-barang ekspor China yang sangat murah dan juga, potensi konsumen China yang jumlahnya masif itu akan gencar membeli produk-produk impor. Para investor asing juga mengincar kemungkinan memproduksi produk-produk low-cost di dalam China yang dapat diekspor dan dibuang ke pasar domestik. Dari segi politis, pemerintah asing memiliki motif tersendiri atas keanggotaan China di WTO. Mereka berharap bahwa dengan mengintegrasikan China ke dalam rezim perdagangan secara formal dan juga rezim investasi, China akan duduk pada landasan yang sama sehingga aneka pertikaian/persengketaan dapat diselesaikan dengan mudah. Kecuali itu, China akan didorong untuk menjalankan sistem undang-undang ekonomi yang lebih transparan. Amerika Serikat, secara khusus, berharap bahwa dengan integrasi China ke dalam ekonomi dunia, China juga akan mengalami perubahan dalam sistem politiknya. Keterbukaan ekonomi akan mendukung lahirnya demokrasi. Demikian kira-kira alur argumen mereka.[25]


IV.II. Peran Kubu Reformis dalam Pembangunan China Moderen

Kaum reformis dalam Partai Komunis China memainkan peranan penting terkait semangat kapitalisme China, dan pada akhirnya berujung ke proses integrasi China ke masyarakat internasional.

Dalam sejarah China kontemporer, pionir terkemuka dari kubu reformis adalah Deng Xiaoping (1904-1997). Deng sukses duduk di puncak panggung kekuasaan China setelah berhasil meyakinkan Politibiro PKC sekaligus rakyat China dengan agenda-agenda pembaharuannya, tapi tetap memegang dasar-dasar dan pedoman komunisme-sosialisme. Meskipun hingga sekarang selalu timbul perdebatan panas di antara para petinggi PKC dan para sinolog tentang keabsahan ideologi komunis-sosialis China, contoh konkret seperti kendali ekonomi nasional makro (hongguan taikong) yang masih digunakan China merupakan salah satu dari segelintir warisan komunis-sosialis bagi China moderen.


Tabel II

Evolusi Ideologi China 1978-2003 [26]

Periode

Dasar ideologi dan dinamikanya

1978-1987

Komunisme

1987

Konggres XIII mengesahkan “sosialisme tahap awal”

1992

Konggres XIV mengesahkan “Teori Deng Xiaoping”

1993

Sidang pleno III, “ekonomi pasar sosialis”

1997

Konggres XV: “Sosialisme tahap awal” ditegaskan sekali lagi

1999

Amandemen Pasal 11, UUD 1982, mengakui hak milik swasta


Kubu reformis China yang diprakarsai Deng itu merupakan para pemikir dan penggiat utama dari nafas baru China. Perjalanan kubu reformis dalam meyakinkan Politbiro PKC dan rakyat China tidaklah mulus. Deng, misalnya, pernah mengalami proses ‘pembelajaran kembali nilai-nilai komunis-sosialis’ (dikucilkan ke desa pedalaman selama bertahun-tahun) karena dianggap terlalu ‘kapitalis’ oleh ketua Mao (Mao Zedong). Setelah Mao mangkat, Deng kembali ke jajaran PKC, dan berhasil mengubah pendirian Partai dengan dalil-dalil yang dikembangkan oleh Mao sebelumnya.[27]

Berangkat dari dasar pembangunan ekonomi, para reformis China kemudian secara bertahap ‘memodifikasi’ dasar ideologis negara, Deng meletakkan landasan bagi pembangunan China moderen. Ini dapat dilihat dari tabel tentang ringkasan evolusi sistem ekonomi China yang terkenal itu:


Tabel 3

Evolusi Sistem Ekonomi China

Periode

Sistem Ekonomi

1978-1979

Ekonomi terencana

1979-1984

Ekonomi terencana didampingi dengan regulasi pasar

1984-1987

Ekonomi komoditas terencana

1987-1989

Ekonomi di mana negara mengatur pasar dan pasar mengatur perusahaan

1989-1991

Ekonomi dengan integrasi organis antara ekonomi terencana dan regulasi pasar

1992

Ekonomi pasar sosialis dengan ciri khas China

1994

Reformasi di bidang hak milik (property rights)

Sumber: Fan Gang, “Reform and Development: the Dual-Transformation of China,” dlm. Pamela C.M. Mar dan Frank-Jurgen Richter, China: Enabling A New Era of Changes (Singapore: John Wiley&Sons, 2003), hlm. 37.


Terkhusus mengenai keanggotaan China dalam rezim WTO, kubu reformis yang beberapa tahun silam dipimpin mantan presiden Jiang Zemin (periode 1989-2002) memakai “kartu WTO” untuk menekan kelompok lawan “konservatif”. Dengan memakai tekanan dari luar, mereka berharap dapat mendorong diterapkannya ekonomi pasar secara lebih konsisten di China.[28]

Setelah menelaah unit pemerintahan China, saya akan beranjak ke dalam analisis isu. Para ideolog dan decision-maker PKC masa pascaDeng menyandarkan diri pada teori pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang sangat populer di seluruh dunia saat ini. Pemimpin China, termasuk mantan PM Zhu Rongji (periode 1998-2003) terus-menerus menekankan pertumbuhan ekonomi sebesar 7% sebagai patokan yang tidak boleh diubah-ubah. Ini dikemas dalam sebuah konsep “xiao kang” yang tidak lain adalah konsep pembangunan atas dasar pertumbuhan ekonomi. [29]

Teori economic growth merupakan teori yang dikritik banyak pihak seperti kaum sosialis dan environmentalist karena sifatnya yang sangat destruktif. Apa yang membuat para petinggi China menganut jalan ini, dan terutama dalam konteks makalah ini bergabung dengan WTO? Seperti yang dikemukakan I. Wibowo dalam bukunya, pilihan China tersebut erat kaitannya dengan tren dunia kini, yaitu economic legitimation. Kegagalan dan kesuksesan sebuah pemerintahan di mana-mana diukur dengan berhasil-tidaknya pemerintah itu berhasil membawa kemakmuran material kepada rakyatnya. Hanya pemerintah yang mampu memakmurkan rakyatnya yang mendapatkan legitimasi. Hal ini tidak hanya berlaku di negara-negara maju (Eropa, Jepang, AS), tetapi juga di negara-negara yang sedang berkembang (Thirld World Countries). Pemerintah negara-negara dunia berusaha mati-matian mendatangkan kemakmuran material kepada rakyatnya sebagai dasar legitimasinya.[30] Dengan kata lain, pendekatan liberalis dalam memahami developmental state ala China sudah tepat tentang pentingnya isu ekonomi dalam pengkajian kepentingan nasional, di samping peran isu keamanan strategis semata.

Hanya saja, pendekatan ini bukanlah tanpa celah atau kelemahan. Dengan adanya krisis finansial global seperti sekarang, superstruktur teori Hubungan Internasional (dalam hal ini pendekatan liberalis) sedang diuji keabsahannya. Pendekatan liberalis yang sebagian besar diadopsi dan diaplikasikan melalui praktik neoliberalisme menghadapi tantangan baru di mana segenap aktor yang terlibat di dalamnya harus menyesuaikan koordinasi antara peran negara dan tentunya, mekanisme pasar itu sendiri. Dalam konteks China, tidak tertutup kemungkinan bahwa konsep “sosialisme yang bercirikan China” itu kemudian dirombak/disesuaikan lagi. Rezim WTO pun sedang menghadapi tantangan baru. Peran negara-negara berkembang dalam level rezim internasional semakin menguat. Tidak cukup hanya negara-negara maju yang aktif berperan dan mendominasi sistem.[31]


V. Kesuksesan Kubu Reformis China

Setelah lama terkungkung oleh ketakutan akan “bahaya kapitalisme” seperti yang didoktrinkan oleh dalil-dalil komunisme-sosialisme, periode pasca gaige kaifang membuat rakyat China menjelma menjadi rakyat yang mengejar kemuliaan dan keagungan di semua lini, baik dalam lingkup domestiknya, maupun di kancah internasional. Para decision-makers China yang didominasi kaum reformis, setali tiga uang. Kebijakan-kebijakan yang diambil pun seringkali menyimbolkan semangat kapitalisme China. Salah satunya dengan masuk ke dalam WTO.

Keanggotaan China di WTO merupakan salah satu proses integrasi internasionalisasi China yang bersejarah dan monumental, baik bagi masyarakat internasional maupun rakyat China sendiri. Dinamika keanggotaan China dalam WTO seringkali diwarnai oleh tekanan internasional (terutama AS) karena China belum sepenuhnya tuntuk pada standar-standar WTO, dan China diyakini memiliki ambisi/motif sendiri terkait keanggotaannya itu. Aspek-aspek tersebut tentu sangat menarik untuk kita cermati. Saat ini China justru merengkuh globalisasi dengan semangat kapitalismenya. Seperti yang ditandaskan I. Wibowo dalam bukunya, budaya komunisme-sosialisme dengan segala ciri altruistiknya sudah hampir terlupakan oleh rakyat China. Kini, semangat nasionalisme China dibangun atas dasar lain yang sangat sensitif bagi mereka pada tahun-tahun silam, yakni mengejar keagungan yang pada praktiknya adalah kapitalisme (terkontrol).[32]

Keadaan menjadi semakin kompleks akibat krisis finansial global yang terjadi belakangan ini. “Washington Consensus” yang selama ini diusung Amerika Serikat justru mengisyaratkan akan adaya koreksi atas mekanisme pasar kapitalis-liberal yang selama ini berjalan ‘terlalu liberal’. Bagi kubu China yang masih menjalankan konsep developmental state, ini adalah sinyal positif bagi keberhasilan kaum reformis China dalam menjalankan agenda reformasinya.


Daftar Pustaka

Bacaan Primer

Brahm, Laurence J. - (ed). China After WTO. Beijing: China Intercontinental Press. (2002).

Brahm, Laurence J. China’s Century: The Awakening of the Next Economy Powerhouse. Singapore: John Wiley&Sons. (2001).

Far Eastern Economic Review. (Oktober 2003).

Jhamtani, Hira. WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga. Yogyakarta: Insistpress. (2005).

Journal of Contemporary China, Vol. 7, No. 17. (Maret 1998).

Keohane, Robert. O. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy. United Kingdom: Princeton University Press. (1985).

Li, Cheng. China’s Leaders: The New Generation. Oxford: Rowman&Littlefield Pub. (2001).

Mar, Pamela C.M. dan Richter, Frank-Jurgen. China: Enabling A New Era of Changes. Singapore: John Wiley&Sons. (2003).

Panitchpakdi, Supachai dan Clifford, Mark L. China and the WTO. Singapura: John Wiley&Sons. (2002).

Pearson, Margareth M. China Joins the World. New York: Concil on Foreign Relations Press. (1999).

Viotti, Paul. R. dan Kauppi, Mark V. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism - 2nd ed. New York: Macmillan Publishing. (1993).

Bacaan Sekunder

Alwi, Hasan (pemimpin tim redaksi). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. (2002).

Fathers. Michael dan Cottrell, Robert. Pembantaian Tian’anmen – (terjemahan). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. (1990).

Fishman, Ted C. China Inc. - (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. (2006).

Griffiths, Martin dan Callaghan, Terry O’. IR: The Key Concepts. London&New York: Routledge. (2002).

Lam, N. Mark dan Graham, John L. China Now – (terjemahan). Jakarta Elex Media Komputindo. (2007).

Moore, Mike. A World Without Walls: Freedom, Development, Free Trade and Global Governance. Cambridge University Press. Cambridge: 2003.

Navarro, Peter. Letupan-Letupan Perang China Mendatang – (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. (2008).

Yuan, Wang dan Goodfellow, Rob dan Xin, Shengzhang. Menembus Pasar Cina – (terjemahan). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. (2000).


Pustaka Web

http://www.kompas.com

http://www.wto.org

http://www.gov.cn.en


[1] Martin Griffiths dan Terry O’ Callaghan, IR: The Key Concepts, (London&New York: Routledge, 2002), hlm. 338-341.

[2] 45 milyar USD, bahkan ada yang memperkirakan mencapai 70 milyar USD lih. http://financialexpress.com/news/beijing-olympics-have-been-most-expensive-so-far/348024

[3]http://kompas.co.id/read/xml/2008/10/27/00262913/perekonomian.as.akan.makin.bergantung.ke.china dan Kompas, 9 Oktober 2008, “Peran China Dinantikan untuk Mengatasi Krisis”, hlm. 15.

[5] Kaum Komunis China (共产党 gongchandang) pimpinan Mao Zedong memenangkan kekuasaan atas China daratan pada tahun 1949. Akibatnya, Partai Nasional China/PNC (国民党 guomindang) yang saat itu dipimpin Chiang Kai-sek melarikan diri ke Pulau Formosa (Taiwan). Sejak saat itu, keduanya mendirikan pemerintahannya masing-masing; Pimpinan Mao di China daratan, dan pimpinan Chiang Kai-sek di Taiwan.

[6] WTO merupakan organisasi internasional dengan sistem penyelesaian sengketa yang kuat, sementara GATT hanya kesepakatan antarpemerintah. WTO mengatur liberalisasi perdagangan produk manufaktur, pertanian, dan jasa melalui produk hukum seperti General Agreement on Trade in Services (GATS), Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), dan penanaman modal melalui Trade Related Investment Measures (TRIMs).

[7] Mao Zedong mengumumkan gerakan revolusi proletariat di China. Semua akar kebudayaan China yang umurnya ribuan tahun itu kecuali bahasa Mandarin, harus diganti total dengan kebudayaan komunisme-sosialisme. Segala macam praktik kapitalisme diharamkan di daratan China.

[8] Pemerintah China meredakan demonstrasi prodemokrasi besar-besaran, korban sipil yang berjatuhan lebih dari 1.000 orang. Peristiwa ini membuat China dikucilkan oleh masyarakat internasional. Salah satu eksesnya, permohonan China untuk menjadi anggota penuh GATT ditolak. Salah satu literatur yang secara ‘gamblang’ membahas peristiwa ini lih. Michael Fathers dan Robert Cottrell, Pembantaian Tian’anmen – (terjemahan), (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).

[9] ‘Ucapan perjalanan ke selatan’: Gebrakan Deng Xiaoping dalam meneruskan program gaige kaifang ketika politik domestik China stagnan dan ada tendensi bahwa China kembali dipegang oleh kubu konservatif. Teori Deng yang dikenal sebagai “Deng Xiaoping lilun” menegaskan kembali pembaharuan China, dan disahkan dalam Kongres PKC XIV (Oktober 1992) sebagai landasan pembangunan China moderen.

[10] Persyaratan itu antara lain, seperti transparansi menyeluruh dalam aturan perdagangan, penjadwalan pasti atas rencana penurunan hambatan tarif, perlakuan yang sama atas produk domestik dan produk luar negeri, penghapusan sistem penetapan harga oleh negara, penjadwalan atas penghapusan subsidi industri, adanya mekanisme perlindungan bagi negara anggota WTO terhadap perubahan drastis ekspor RRC, menunjukkan kemampuan memenuhi persyaratan WTO secara menyeluruh dan merata ke seluruh wilayah RRC sehingga wilayah pedalaman sama terbukanya dengan Wilayah Ekonomi Khusus, perlindungan HAKI, dll.

[11] Wacana “shehui zhuyi chuji jieduan” atau “sosialisme pada tahap awal” dikemukakan dalam Konggres PKC XIII (1987) untuk mengakomodasi kemacetan ideologis kaum konservatif dan reformis China dalam membangun China moderen.

[12] I. Wibowo, Belajar dari China, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), hlm. 63. Maksud dari pernyataan ini adalah China percaya bahwa prestise negaranya akan naik di mata internasional dan memperkuat legitimasinya baik di dalam negeri maupun di luar negeri, terutama dalam kerangka persaingannya dengan Taiwan dan dengan kubu konservatif di dalam pemerintahan internalnya.

[13] Diolah dari Laurence J. Brahm, China After WTO, (Beijing: Intercontinental Press, 2002).

[14] Lih. Hira Jhamtani, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Insistpress, 2005), terutama Bab II: Pertarungan Tak Seimbang.

[15] Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, op.cit., hlm. 334.

[16] Hasan Alwi (pemimpin tim redaksi), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 954.

[17] Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy, (United Kingdom: Princeton University Press, 1984), hlm. 59.

[18] China bahkan dituding melakukan praktik neoimperialisme di Afrika lih. Peter Navarro, Letupan-Letupan Perang China Mendatang, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008), hlm. 95-110.

[19] I. Wibowo, op.cit., terutama Bab III: China Sudah Berubah Menjadi Kapitalis?

[20] Untuk kali pertama dalam sejarah moderen, para petinggi terkemuka China dan Taiwan bertemu, dan menandatangani perjanjian di bidang ekonomi, lih.

http://kompas.co.id/read/xml/2008/11/0313093357/china-taiwan.akhirnya.berunding

[21] China masih menerapkan sistem “dua kendali” dalam perusahaan-perusahaan yang berskala besar, maksudnya CEO perusahaan adalah juga sekaligus sebagai sekretaris PKC. Pembangunan ekonomi China juga didominasi oleh BUMN China. Penjelasan lebih mendalam lih. Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Shengzhang, Menembus Pasar Cina, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), hlm. 86-87.

[22] Kaum nasionalis China yang dipimpin Sun Yat-sen berhasil menumbangkan sistem monarki, dan diubah dengan sistem republik konstitusional (1911).

[23] Untuk penjelasan lebih lanjut lih., “The One-Two Punch”, Far Eastern Economic Review (2 Oktober 2003), hlm. 26-28.

[24] I. Wibowo, op.cit., hlm. 76-78.

[25] Margaret M. Pearson, “China’s Integration into the International Trade and Invesment Regime”, dlm. Elizabeth Economy dan Michel Oksenberg (eds.), China Joins the World (New York: Council on Foreign Relations Press, 1999), hlm. 166.

[26] Dikutip dari I. Wibowo, op.cit., hlm. 83.

[27] Deng mendorong perubahan China dengan meminjam kata-kata ketua Mao, yakni “shi shi qiu shi” (mencari kebenaran dari fakta). Dalam konteks reformasi saat itu, Deng mendorong rakyat China dan para kader partai untuk mencari “kebenaran”, bukan mencari ideologi atau dogma-dogma partai semata.

[28] I. Wibowo, op.cit., hlm. 74.

[29] Hal ini ditegaskan lagi dalam Konggres Nasional Partai Komunis XVI, November 2002. Sebagai ikhtisar, lih. John Wong, “Xiao-kang: Deng Xiaoping’s Socio-economic Development Target for China,” dlm. Journal of Contemporary China, Vol. 7, No. 17 (Maret 1998), hlm. 141-152.

[30] Gabungan argumen pribadi I. Wibowo, op.cit., hlm. 167-170 dengan tema economic legitimation yang dibahas dalam Juergen Habermas, Legitimation Crisis (London: Heinemann, 1976).

[31] Peran negara-negara berkembang dalam penanganan isu-isu internasional semakin signifikan dan krusial, salah satunya, lih. Kompas, 12 Oktober 2008, “Presiden Bush Akan Ajak G-20”, hlm. 1 dan 15, atau lih. Kompas, 9 Oktober 2008, “Peran China Dinantikan untuk Menghadapi Krisis’, hlm 1 dan 15.

[32] I. Wibowo, op.cit., terutama bab V: “Kapitalisme atau Sosialisme” , hlm. 78-91.