From Denis Toruan to you...

"For Travel Addict"

"For Travel Addict"
The only premium free magazine in Indonesia

28 June 2009

Peran Negara dan Langkah G-20 dalam Mengatasi Krisis Finansial Global 2008-2009


“…Goverment has a large role to play. The right mix of government and markets will differ between countries and over time... The list of potential arenas for government action is large. Today, nearly everyone agrees that government needs to be involved in providing basic education, ilegal frameworks, infrastructure, and some elements of social safety nets, and in regulating competition, banks, and environmental impacts.”

-Joseph E. Stiglitz1

I. The End of Ortodox Laissez-faire?

Kejatuhan blok timur (komunis) pada awal era 1990-an menandakan berakhirnya rivalitas yang sangat kental (Perang Dingin/the Cold War) antara dua superpower, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keadaan politik global pascaperang dingin menjadi berubah drastis; negara-negara di dunia dihadapkan pada skenario baru di mana satu hegemon tampil dominan dalam perpolitikan global, termasuk dalam bidang ekonomi.2 Pada waktu yang bersamaan, perkembangan kecanggihan teknologi informasi tidak berhenti tidak membalik (maintaining) agenda globalisasi.

Perkembangan politik global pascaperang dingin, khususnya secara ideologis, terdokumentasikan dengan baik salah satunya oleh Francis Fukuyama dalam karyanya yang sangat provokatif dan terkenal, The End of History and the Last Man (1992). Di situ, Fukuyama berargumentasi bahwa kapitalisme-liberalisme keluar sebagai pemenang absolut, dan bahwa proses sejarah manusia itu sendiri dikatakan sudah stagnan/berhenti.3 Dalam konteks clash of rivalry actors, argumen Fukuyama tersebut dapat diterjemahkan ke dalam bahasa realisme HI sebagai Hegemonic Stability Theory4 - AS merupakan satu-satunya hegemon yang masih bertahan pascaperang dingin. Institusi keuangan global (IMF, World Bank) yang ada juga didominasi oleh AS, dan aktivitas perekonomian global pun sedikit banyak mengadopsi model sistem ekonomi pasar. Dengan asumsi dasar seperti itu, dapat disimpulkan untuk sementara bahwa baik secara politik ataupun ekonomi keadaan global dapat berangsur-angsur menjadi lebih baik dibandingkan pada era Perang Dingin dan masa-masa sebelumnya lagi.

Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya - krisis finansial global merebak pada Juli 20075 di mana aktivitas perekonomian dunia berangsur-angsur lesu dan terpuruk, terburuk semenjak terjadinya Depresi Besar pada era 1930-an. Ironisnya, krisis ini justru dimulai/disebabkan oleh non-state actors yang beroperasi dalam cakupan global dan didukung oleh rezim laissez-faire ala Washington Consensus.6 Efeknya berimplikasi global, dan mengakibatkan negara-negara seliberal AS dan Uni Eropa sekalipun untuk mengintervensi pasar dengan memberikan bail-out kepada MNC-MNC mereka beserta paket stimulus untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Negara-negara berkembang juga turut merasakan dampak krisis, dan ‘terjun’ lebih dalam ke dalam mekanisme pasar, antara lain dengan paket stimulus dan inisiatif lainnya untuk menggenjot (dan menjaga) pertumbuhan ekonomi domestiknya. Dalam panggung ekonomi politik internasional, regionalisme negara-negara maju seperti UE contohnya, bersikeras menuntut penataan pergerakan kapital transnasional/global, sementara AS bersikukuh dengan status quo. Asumsi bahwa pasar (market) mengoreksi dirinya sendiri menjadi irelevan seiring berkembangnya zaman.7 Negara-negara dunia, terutama yang tergabung dalam G-20 yang menguasai 80% perdagangan global sepakat bertemu dalam konferensi tingkat tinggi (summit) pada 2 April 2009 di London, Inggris, untuk mencari solusi bersama terkait krisis finansial global. Fenomena ini menggarisbawahi adanya tendensi peran/intervensi negara (secara kolektif) dalam mekanisme pasar domestik maupun global, yang kita tahu bertentangan dengan asumsi dasar liberalisme (laissez-faire).


Berangkat dari latar belakang tersebut, tulisan sederhana ini berusaha mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

  1. Apa peran negara dalam agenda globalisasi (free-trade), khususnya terkait ekonomi politik internasional?
  2. Mencermati hasil yang didapat dari pertanyaan di atas, bagaimana peran G-20 dalam mengatasi krisis finansial global akibat free-trade tadi?
  3. Apakah fenomena intervensi G-20 dalam pasar, terutama sektor finansial menandakan berakhirnya era rezim laissez-faire ortodoks (monetarism policy) dalam mekanisme perekonomian global?

Dengan mengeksplorasi ketiga pertanyaan tersebut penulis bertujuan mencari tahu signifikansi peran negara dalam perekonomian global, khususnya terkait penanganan krisis finansial global pada kurun waktu 2007-2009.


1 Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work, (New York: W.W. Norton&Company, 2006).

2 Pertarungan ideologis dan sistem perekonomian dua adidaya (Perang Dingin) antara etatisme ala komunisme-sosialisme vis a vis pasar ekonomi terbuka (free trade) telah berakhir dengan kolapsnya Uni Soviet pada Desember 1991. AS bersama sekutunya masih bertahan hingga sekarang, sementara Uni-Soviet terpecah-pecah menjadi 17 negara.

3 Maksud Fukuyama adalah bahwa demokrasi liberal merupakan end point of mankind’s ideological evolution dan final form of human government sehingga proses sejarah manusia itu sendiri sudah mencapai puncaknya/tidak akan berubah lagi (baik menurut proses evolusi sejarah Hegel atau Marx).

4 Untuk penjelasan lebih mendalam mengenai Hegemonic Stability Theory, lih. contohnya Robert Gilpin, War and Change in World Politics, (New York: Oxford University Press, 16th edition 1999), terutama Bab V dan VI.

5 Wall Street Journal, "TED Spread spikes in July 2007", http://www.princeton.edu/~pkrugman/ted-spread-wsj.gif, diakses pada tanggal 29 Maret 2009.

6 AS adalah hegemon pengusung demokrasi liberal dan laissez-faire. Salah satu platform dasarnya adalah yang dikenal dengan nama “Washington Consensus”, lih. contohnya Ben Fine (ed.), Development Policy in the Twenty First Century: Beyond the Post Washington Consensus, (London: Routledge, 2001).

7 Menurut teori ekonomi klasik Adam Smith, harga pasar diciptakan keseimbangannya secara otomatis dan efisien karena digerakkan oleh dinamika persediaan (supply) dan permintaan/penawaran (demand) dalam pasar (market). Mekanisme dorongan keseimbangan tersebut disebut sebagai “the invisible hands”.


*Untuk membaca lebih lengkap atau ingin mengunduh tulisan ini silakan mengklik url link yang disediakan.