From Denis Toruan to you...

"For Travel Addict"

"For Travel Addict"
The only premium free magazine in Indonesia

06 May 2009

Efektivitas Peran Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015



oleh: Denis L. Toruan

-sinopasxinica- 7/5/09


Setujukah Anda bahwa peran Indonesia dalam Kerja sama Ekonomi ASEAN sudah efektif?


Pertama-tama, perlu diklarifikasi terlebih dahulu substansi dari pertanyaan ini. Setidaknya saya bisa menangkap dua interpretasi yang dapat dikemukakan darinya, yakni pertama, efektivitas bagi integrasi regional (ASEAN); dan kedua, efektivitas bagi pembangunan domestik Indonesia itu sendiri (RI’s national interest).[1] Tulisan singkat ini akan menjawab dengan mengacu dari dua interpretasi tersebut.


I. Efektivitas Peran Indonesia dalam Kerja sama Regional


Indonesia sejauh ini sudah berpartisipasi aktif dalam mendorong perumusan Bali Concord II Oktober 2003 maupun Cebu Declaration 13 Januari 2007 yang kemudian mendorong percepatan pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN menjadi tahun 2015. Selain itu, Indonesia ikut meletakkan kerangka legal Piagam ASEAN (ASEAN Charter) pada 20 November 2007 sebagai basis komitmen. Politik luar negeri Indonesia pun juga jelas-jelas menyatakan bahwa ASEAN adalah batu penjuru bagi Indonesia sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Indonesia tidak mendorong peningkatan kerja sama regional tersebut. Dalam dinamika regionalnya, Indonesia terbilang cukup konsisten dengan fokusnya tersebut, seperti yang terlihat dari dua indikator sebagai berikut:

  1. Indonesia memegang teguh the ASEAN Way

RI belum pernah secara eksplisit mencampuri urusan domestik negara-negara tetangganya (non-intervention). Indonesia bahkan melakukan inisiatif dalam menampung korban pengungsi Rohingya, contohnya, yang kita tahu merupakan pendatang ilegal karena krisis internal di Myanmar.[2]

  1. Indonesia juga memainkan polugri bebas aktif dan konsep balance of power dalam kerja sama regional

Indonesia tetap mendorong partisipasi terbatas dari dua negara besar seperti Amerika Serikat dan China dalam kerja sama regional. Ini dapat terlihat dari forum multilateral seperti ASEAN Regional Forum. Terkhusus mengenai kerja sama ekonomi, Indonesia juga mendorong kerja sama intrakawasan dengan negara-negara maju seperti ASEAN+3, dan juga inisiatif bilateral mutualisme seperti bilateral currency swap dengan China,[3] PTA dan FTA dengan Jepang, dll. Selain itu, mitra-mitra tradisional seperti Jepang, AS, Uni Eropa, dan China juga tetap menjadi partner dagang utama ASEAN yang secara bersama-sama memiliki pangsa pasar sekitar 44% dari total perdagangan ASEAN hingga tahun 2005.[4]

Dari segi normatif dan kesiapan mengantisipasi MEA 2015, Indonesia mulai mendorong berdirinya lembaga-lembaga independen/institusi nasional seperti Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) maupun Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan Balai Latihan Kerja (BLK) untuk mengawasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, sekaligus membantu peningkatan kualitas tenaga kerja secara regional.[5] Apabila pemerintah RI bisa fokus terhadap isu ini, asumsi terakhir tidak mungkin tidak menjadi teori dan kontribusi baru dalam peningkatan kerja sama ekonomi regional. Dalam bidang finansial dan investasi, Indonesia yang notabene tergabung dalam forum G-20 dan baru saja menyepakati komunike bersama tentang krisis finansial global, aktif dalam mendukung penanganan krisis secara multilateral, termasuk dalam penyediaan cadangan siaga IMF dan reformasi IMF itu sendiri (termasuk mendorong Chiang Mai Iniative/CMI bagi sektor finansial regionalnya). Sayangnya, hingga tulisan ini diturunkan, pengumuman ‘menggembirakan’ tersebut belum sempat dibahas dan ditindaklanjuti secara tuntas dalam forum ASEAN berhubung gagalnya KTT ASEAN di Phattaya, Thailand awal April lalu yang disebabkan oleh krisis internal Thailand.

Dengan berkaca pada indikator-indikator seperti di atas, hemat saya Indonesia sudah berperan efektif dalam integrasi regional ASEAN; RI konsisten dalam melakukan kebijakannya, meski sekali lagi perlu ditekankan bahwa hal tersebut kembali berpulang pada kesadaran dan political will RI untuk menyukseskan kerja sama ekonomi regional secara tuntas (even and complete) dan bertanggung jawab.


II. Efektivitas Peran Indonesia Terkait Kepentingan Domestiknya


Sebagai negara anggota ASEAN dengan jumlah pasar potensial sebesar 220 juta jiwa (55% dari total populasi ASEAN) di kawasan bernilai ekonomi sebesar lebih dari 1,1 triliun dollar AS,[6] efektivitas peran Indonesia terhadap pembangunan domestiknya menjadi hal yang teramat penting untuk diabaikan begitu saja.

Kita semua tahu bahwa di atas kertas MEA 2015 akan membuka peluang bagi semakin bebasnya aliran modal, produk, jasa, hingga tenaga kerja ke seluruh kawasan ASEAN. Kesadaran itu sudah sepatutnya menjadi fokus RI dalam enam tahun yang tersisa sebelum konsep MEA 2015 itu benar-benar terealisasi. Implementasi konkretnya, RI masih harus memperbaiki playing field-nya, yakni seperti bagaimana meningkatkan kualitas/daya saing masyarakatnya, memperbaiki infrastruktur dan kerangka legal yang komprehensif, hingga meredifinisi politik luar negerinya. RI perlu membatasi dirinya pada kerja sama-kerja sama bilateral yang paling menguntungkan saja (terutama untuk jangka panjangnya), jangan sampai enam tahun yang tersisa malah terbuang sia-sia karena Indonesia belum sempat berbenah diri. Hal tersebut tidak berlebihan mengingat pamor dan kapabilitas (playing-field) negara besar seperti China mulai sedikit banyak ‘mendikte’ secara implisit orientasi ASEAN, sementara kekuatan pengimbang (balancing powers) seperti Jepang dan Korea Selatan mulai kedodoran, terutama setelah krisis finansial global menerjang.[7]

Proses pembenahan (management restructuring) ini masih terus berlangsung, dan membutuhkan perhatian serta kontribusi dari segenap aktor terkait, bukan hanya state actor itu sendiri. Salah satu indikator terbaik yang dapat saya kemukakan untuk menilai isu ini dapat dicermati dari neraca perdagangan RRI-RRC yang mulai timpang (harmful imbalance) hingga tahun 2008.[8] Indonesia harus benar-benar fokus terlebih dahulu terhadap kesiapan domestiknya. Dengan demikian, peran RI baru bisa efektif, terutama bagi segenap rakyat Indonesia yang menjadi konstituennya.


[1] ASEAN adalah “the cornerstone” (batu penjuru) bagi kebijakan luar negeri Indonesia, lih. www.deplu.go.id.

[3] http://www.bi.go.id/web/id/Ruang+Media/Berita/news_230309.htm, Gubernur Bank Indonesia, Dr. Boediono, dan Gubernur People’s Bank of China (PBC), DR. Zhou Xiaochuan, menandatangani perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) pada Senin, 23 Maret 2009. Kerjasama Rupiah-Renmimbi swap line ini setara dengan Rp 175 triliun/RMB100 miliar, dan berlaku efektif selama 3 tahun dengan kemungkinan perpanjangan atas persetujuan keduabelah pihak.

[4] Sjamsul Arifin (ed.), Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008), hlm. 74–75.

[5] Asumsinya adalah menurunkan probabilitas mobilitas ekspor tenaga kerja RI yang cenderung unskilled-labour, belum semuanya legit, dan berpotensi menjadi masalah/beban di negara lain. Lih. penjelasannya di ibid., hlm. 278-280.

[6] Ibid., hlm. 12.

[7] Untuk penjelasan lebih mendalam tentang integrasi ekonomi kawasan Asia Timur dan perubahan-perubahan strukturnya, lih. contohnya Guillaume Gaulier (et.al.), China’s Integration in East Asia: Production Sharing, FDI and High-Tech Trade, (France: Springer Science+Business Media, 2007).

[8] Data dapat diakses di http://www.depdag.go.id/index.php?option=statistik&task=table&itemid=06010202.

04 May 2009

Belajar dari China: Resep Kecil Pembangunan dan Kebangkitan Negara Berkembang*

*disarikan terutama dari bagian “penutup” buku Belajar dari Cina © I. Wibowo (2004) dan argumen pribadi penulis


oleh: Denis L. Toruan

(5/4/2009)

-Sinopaxsinica-


Serupa tapi tak Sama

RI dan China memiliki beberapa kemiripan identitas, seperti jumlah populasi penduduk yang besar-multiras, sama-sama pernah dijajah, sama-sama pernah mengalami masa otoritarian (meski China berlanjut secara terbatas hingga sekarang), sama-sama menganut politik luar negeri yang pragmatis-nasionalis, dll. Akan tetapi, mengacu dari faktor penduduk tersebut apa yang membuat keduanya begitu berbeda, terutama jika kita menyaksikan sendiri pertumbuhan ekonomi China yang terus meroket, sementara RI masih kedodoran menghadapi globalisasi?


Kombinasi Dua Faktor Besar

Bangsa China memiliki sejarah ribuan tahun panjang. Sejak awal, terutama dari daerah utara yang dikelilingi pegunungan, mereka terbiasa dengan konsep inward-looking (introvert). Tradisi ini terus berlanjut sepanjang sejarah kedinastian China di mana seorang kaisar dipercaya sebagai anak langit (Tianzi) sehingga orang-orang dan daerah-daerah jauh di luar kerajaannya harus memberikan upeti demi menghormati otoritas kekaisaran yang sah. Ketika pada masa moderen kedaulatan China yang superior itu ‘dibobol’ dan dipermalukan habis-habisan oleh bangsa-bangsa barat dalam kekalahan Perang Candu (1840), lalu wilayah-wilayah China dibagi atas beberapa daerah konsesi untuk negara-negara barat, semangat nasionalisme (aiguozhuyi) rakyat China meledak hebat, dan mempersatukan rakyat China untuk ‘membalas dendam’ atas penderitaan mereka. Semangat inspirasional ini terlihat dari ide-ide tokoh besar China seperti Sun-Yatsen, Lu Xun, Mao Zedong, hingga Deng Xiaoping dst, ketika mereka menggagas gerakan nasionalis revolusioner seperti Revolusi 1911 (xin hai geming), Gerakan 4 Mei (wusi yundong), Revolusi Kebudayaan (wenhua geming), hingga reformasi dan keterbukaan (gaige kaifang). Barangkali salah satu potret terbaik yang menangkap semangat menggebu-gebu China moderen adalah ujaran Deng Xiaoping: “zhi fu shi guangrong” (menjadi kaya itu mulia). Kombinasi antara ‘balas dendam’ (secara positif) dan sentuhan pragmatisme terbukti sukses mengantarkan China ke global level playing field sejauh ini.


Peran Negara dan Kebebasan Terbatas

Bangsa barat memiliki sejarah dan tradisi yang bisa dibilang jauh berbeda dari masyarakat timur (Asia). Dalam bidang ideologi dan ekonomi, resep laissez-faire (neolib) tidak serta merta memberikan hasil dan dampak yang sama bagi kemajuan negara-negara berkembang, apalagi kita semua menyaksikan sendiri kolapsnya perekonomian liberal (yang terlalu liberal) saat krisis finansial ini. China sangat mengerti akan hal tersebut. Oleh sebab itu, meskipun sudah membuka dirinya, aktif dalam rezim-rezim neolib (IMF, World Bank), serta gencar membuka hubungan FTA, China masih memegang kontrol makro atas perekonomiannya (hongguan taikong); aset-aset negara dipertahankan, bahkan sedikit banyak menerapkan proteksionisme (subsidi besar bagi BUMN dan UKM). Yang menarik, seperti yang didemonstrasikannya selama ini, China melawan barat dengan ala barat (mengingatkan saya akan konsep kungfu taichi yang memanfaatkan kekuatan serangan lawan). ^^ Washington Consensus vis a vis Beijing Consensus. Kata para pemimpin reformis China, “Privatisasi tapi tidak terlalu privat, deregulasi tapi tidak terlalu dideregulasi, dan tentunya, liberalisasi tapi tidak terlalu liberal.” Kombinasi antara laissez-faire dengan laissez-passer bukanlah sesuatu yang haram, bahkan ekonom sekaliber dan sekritis Joseph Stiglitz menyarankannya (Making Globalization Works, 2006)!


Penyesuaian Strategi Konstituen

Ada pendapat seorang penulis pendidikan dari China yang sangat menarik saya, “Salah satu kelemahan pendidikan kita (sehingga membuat anak-anak merasa tidak nyaman dengan dirinya sendiri/membenci dirinya) adalah kita terbiasa membandingkan kelebihan (anak lain) dengan kekurangan (anak kita), dan kelebihan (anak kita) dengan kekurangan (anak lain)à menyuburkan lingkaran setan ini. Tulisan ini masih jauh dari sempurna, tapi setidaknya saya berusaha menghindari jebakan yang sama yang menimpa banyak pakar dan analis.

Oleh sebab itu, bagaimanapun juga resep kecil ini berpulang kepada kesadaran, kecerdasan (local genious), serta kemauan total (complete self-surendering) dari segenap konstituen negara untuk menemukan ‘bahan bakar’-nya sendiri sebagai motor penggerak dan implementasi konkret yang menyadari (mawas diri) segenap kapabilitas negara, serta tujuan yang jelas dan realistis (tangible). Mengingat kembali apa yang dikatakan Thomas Friedman (The Lexus and the Olive Tree, 2000) pada awal milenium ketiga, “Globalization tends to turn all ‘allies’ and ‘enemies’ into ‘competitors’.” Interpretasi saya tidak muluk-muluk, negara mana pun yang ingin maju, apalagi negara berkembang, senantiasa harus mawas dan fleksibel terhadap tantangan-tantangan yang semakin bervariasi, tapi tidak melupakan akar sejarah dan values mereka. “Then, and only then shall we sweetly tasting (or harvesting) the fruits of globalization. It’s now or never!”

03 May 2009

Sejarah Singkat Perkembangan Hanzi (Kanji Mandarin)*


*dikutip dari buku teks pelajaran bahasa China, Chen Tianshun (eds.), Hanyu Yuedu Jiaocheng – Shang, (Beijing: Beijing Yuyuan Wenhua Daxue Chubanshe, 2002).


Hanzi merupakan salah satu bahasa tulis yang tertua di dunia. Perkembangannya menjadi bentuk yang kita kenal sekarang memakan waktu ribuan tahun. Secara garis besar, evolusi dan jenis-jenis Hanzi dapat dibagi atas enam macam, yaitu jiaguwen, jinwen, xiaozhuan, lishu, caoshu, kaishu, dan xingshu.

Hanzi yang paling awal muncul ditemukan pada jaman Dinasti Shang di dalam ukiran/pahatan pada tempurung kura-kura, tulang rusa, dan lain-lain. Oleh karena itu, orang-orang menyebutnya jiaguwen. Bentuknya sangat berbeda dengan Hanzi yang kita kenal sekarang dan sangat sulit untuk dipahami. Karakter pada jiaguwen bentuknya mirip lukisan karena diadopsi langsung berdasarkan objek/benda yang digambarkan, atau dengan kata lain dalam bentuk piktograf. Selain itu, Hanzi pada jiaguwen juga terdapat penggabungan materi-materi menjadi makna baru dengan konsep yang cukup rumit (ideograf).

Jinwen tercipta saat Cina mengalami jaman perunggu. Saat itu, penggunaan materi atau alat-alat berbasis perunggu sangat mendominasi kehidupan manusia. Karakter-karakter Cina banyak ditemukan pada alat-alat perunggu semacam ini, oleh karena itu disebut jinwen (saat itu jin/perunggu disebut tong). Struktur,komposisi maupun konstruksi Jinwen tidak jauh beda dengan jiaguwen.

Pada jaman negara-negara berperang atau Zhanguo shidai (475-221 SM) tiap-tiap negara kecil melakukan segala hal dengan cara-caranya sendiri, tidak terkecuali dengan penggunaan bahasa tulis. Setelah Kaisar Qin Shi menaklukkan dan mempersatukan Cina berdirilah dinasti Qin (221-207 SM). Kaisar Qin lalu melakukan penyeragaman bahasa tulis di seluruh daratan Cina dan menetapkan standar-standar tertentu untuk pertama kalinya. Pada era inilah xiaozhuan tercipta. Bentuknya cukup rumit dan masih sangat sulit untuk dapat dipahami.

Setelah dinasti Qin tumbang, dinasti Han muncul menguasai Cina. Pada era ini lishu diciptakan dan mengalami perubahan yang signifikan. Lishu menggunakan beberapa konsep dasar guratan dalam menulis karakternya seperti dian (titik), heng (garis horizontal), shu (garis vertikal), tie (garis melengkung ke kiri), na (garis melengkung ke kanan), dan lain-lain. Inilah dasar Hanzi yang kita kenal sekarang.

Tidak lama berselang, orang-orang mulai berpikir untuk menulis Hanzi dengan cepat dan terciptalah caoshu.

Bentuk lishu dan caoshu dianggap masih kasar dan tidak mudah dipahami. Kaishu kemudian diciptakan untuk mengatasi problematika ini. Bentuknya pas (cukup merepresentasikan materi atau ide yang ingin digambarkan), indah, dan mudah dipahami. Inilah bentuk hanzi yang kita kenal sekarang, terutama pada ragam penulisan surat kabar, majalah, dan buku-buku.

Bentuk penulisan kaishu sangat tegak dan kaku, untuk dapat menulisnya dengan benar memakan waktu lebih. Hal ini menjadi masalah bagi orang-orang yang dalam profesinya membutuhkan kecepatan menulis seperti wartawan dan sebagainya. Tidak jarang mereka masih menggunakan konsep caoshu dalam menulis kaishu, yaitu menulis dengan cepat. Hasilnya tidak seindah kaishu dan tidak jarang hanya penulisnya sendiri yang dapat memahami karakter-karakter ini. Inilah yang disebut dengan xingshu. Orang-orang jaman sekarang pada umumnya sudah menggunakan xingshu.

Krisis Finansial Global 2007-2009: Babak Baru Agenda Globalisasi


oleh: Denis L. Toruan


“…The defining defense system of the Cold War was radar - to expose the threats coming from the other side of the wall. The defining defense system of the globalization era is the X-ray machine – to expose the threats coming from within.”

- Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree (2000)


Krisis finansial global sudah menelan sederetan korban, dari MNC hingga rezim pemerintahan, seperti yang menimpa Islandia, Estonia, dan Latvia (Kompas, 22/3/2009). Proses penanganan krisis ini mengindikasikan peran dan intervensi pemerintah negara-negara dunia karena “market can’t rule themselves” (Joseph E. Stiglitz, Newsweek, 31 Desember 2008). The competition among states berjalan lebih alot dan kompleks lebih daripada yang lalu-lalu.


Belum selesai

Pada tahun 1992, Francis Fukuyama menerbitkan sebuah buku fenomenal yang berjudul The End of History and the Last Man. Intinya, secara garis besar terdapat dua hal penting yang dapat kita tarik dari karya Fukuyama itu. Pertama, kemenangan demokrasi liberal (AS dan sekutunya) atas blok komunis merupakan “end point of mankind’s ideological evolution” dan “final form of human government” sehingga proses sejarah manusia itu sendiri sudah mencapai puncaknya/tidak akan berubah lagi. Dan kedua yang tak kalah pentingnya, Fukuyama mengklaim secara sepihak tentang kemenangan kapitalisme-liberalisme dalam politik global. Dengan dasar tersebut dapat kita asumsikan untuk sementara bahwa jalan menuju integrasi-globalisasi (puncaknya adalah perdamaian universal) semakin mendekati kenyataan, dan proses sejarah umat manusia berjalan linear.

Nyatanya, wave of liberalism, khususnya dalam bidang perekonomian menghasilkan buah yang pahit bagi pertumbuhan ekonomi global saat ini. Dan yang paling ironis, krisis ini justru dimulai dari jantung kapitalisme-liberalisme itu sendiri, AS, sekaligus diakibatkan oleh kegagalan pasar dalam mengoreksi dirinya sendiri. Semua hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bahkan keraguan tentang peran hegemonik AS dan agenda globalisasi: Apakah tesis Fukuyama masih valid dan relevan? Apakah proses sejarah manusia itu, baik menurut proses evolusi sejarah Hegel atau Marx, sudah benar-benar berakhir dengan kenyataan yang ada sekarang? Perdamaian universal kembali di atas awang-awang, dan kemungkinan besar, impian menuju satu masyarakat global masih harus terus diperjuangkan.


Era Pragmatisme

Rezim Bretton Woods sudah lama ditinggalkan AS, tapi dolar AS masih tetap merupakan mata uang utama dalam transaksi perdagangan global. Banyak pemimpin negara, terutama dari UE yang mengeluhkan tentang ketergantungan terhadap greenback ini, mereka bahkan mengusulkan mereformasi institusi keuangan global dan/atau membuat regulasi ketat dalam pasar keuangan. Sementara the rising powers seperti China, contohnya, mengambil momentum ini dengan mengusulkan ide mengganti mata uang global dengan yuan-nya. AS, seperti yang sudah kita duga (dan memang wajar mengingat status hegemonnya), tetap bersikukuh dengan status quo. Padahal, jika kita mau kritis tentang langkah penanganan krisis negara-negara liberal, khususnya AS, menampakkan secara gamblang tentang intervensi negara dalam pasar, sesuatu yang jelas-jelas diharamkan, baik dalam “Washington Consensus” maupun ide liberalisme itu sendiri. Akan tetapi, langkah mereka cenderung pragmatis, mengingat AS memilih opsi intervensi bukan karena mereka memutar haluan ke doktrin Keynesianisme, contohnya, melainkan atas dasar alasan sederhana: “trickle down the crisis”. Negara-negara lain pun setali tiga uang. Krisis finansial yang berimplikasi masif telah sedikit banyak mengubah paradigma states dalam menghadapi kompetisi global. Gejala ini sudah tampak ketika China-Taiwan membuka hubungan dagang November silam, atau ketika UE yang notabene sekutu tradisional AS bersikeras menertibkan pasar modal dahulu sebelum mengucurkan dana segar ke pasar, atau ketika negara-negara berkembang seperti Indonesia mulai mencari alternatif greenback dengan menandatangani bilateral currency swap arrangement dengan China pada 23 Maret silam. Versi ekstrem liberalnya, sejumlah media liberal terkemuka seperti The Economist terbitan 7 Februari 2009 melalui artikel “The Return of Economic Nationalism” bahkan mulai membahas tentang potensi proteksionisme yang makin menguat, dan mendorong rezim Obama untuk segera menegakkan kepemimpinan global yang terus ‘dirongrong’ ini.


Di persimpangan jalan

Krisis finansial global memberikan semacam sinyal kewaspadaan pada negara-negara dunia (di luar AS) untuk setidaknya mempertimbangkan dua hal secara dalam-dalam. Pertama, globalisasi juga memiliki sisi kelamnya. Pengintegrasian mekanisme perekonomian global juga berarti “pengintegrasian segudang kecatatan domestik” menjadi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, wajar dipahami jika UE menginginkan adanya institusi pengawasan supranasional, atau paling tidak regulasi ketat. Kedua, intervensi negara ke dalam pasar sejauh ini memang dibutuhkan – membantu pasar domestik bangkit dari keterpurukan dan/atau mempersiapkan pasar domestik sebelum terjun menghadapi free-fight capitalism di tingkat global (Jacques B. Gelinas, 2003). Belum ditambah dengan kenyataan bahwa pasar terbukti ‘belum’ bisa mengoreksi dirinya sendiri.

Agenda globalisasi, terutama dalam hal dan dimulai dari bidang perekonomian itu sendiri, kini berada di persimpangan jalan: negara-negara dunia mau tetap bertahan dengan hegemoni liberalisme AS, atau kekuatan yang tersebar-sebar itu malah mengonsolidasikan dirinya melalui hubungan bilateral strategis seperti yang dicontohkan China-Indonesia, atau opsi regionalisme yang menawarkan keunggulan komparatif ala Adam Smith dkk, atau justru posisi AS sebagai hegemon itu sendiri lambat laun tergantikan (rezim baru, mekanisme baru)? Pola ini menarik untuk kita cermati, apalagi G-20 sudah mengeluarkan komunike multilateral pada 2 April 2009, dan segenap waktu/momentum lain yang ada sebelum sejarah manusia itu sendiri berakhir karena faktor-faktor eksternal, misalnya.