From Denis Toruan to you...

"For Travel Addict"

"For Travel Addict"
The only premium free magazine in Indonesia

04 April 2009

“Harga China” Sebagai Soft Power China di Bidang Perekonomian dan Karakteristik-karakteristik Dasarnya


"[Soft power] is the ability to get what you want through attraction rather than coercion or payments. It arises from the attractiveness of a country's culture, political ideals, and policies. When our policies are seen as legitimate in the eyes of others, our soft power is enhanced." [1]

- Joseph S. Nye, JR.

oleh: Denis L. Toruan


I. Kebangkitan Asia Timur

Asia merupakan salah satu benua dengan pertumbuhan ekonomi yang termasuk paling cepat di dunia dalam tiga dekade terakhir, dan memiliki prospek yang sangat baik untuk melanjutkan pertumbuhan ekonominya dalam jangka panjang.[2] Dimulai pada tahun 1996, negara-negara dengan perekonomian termakmur di Asia, yakni Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan yang mengalami krisis keuangan sangat parah dengan puncak keambrukan pada pasar saham Asia. Kebijakan uang ketat, naiknya nilai tukar mata uang terhadap dolar Amerika (USD), dan penurunan laju ekspor ikut menambah parah krisis keuangan itu. Betapa pun parahnya pergeseran ekonomi waktu itu, prediksi International Monetary Fund/IMF yang melaporkan pada tahun 1993, menyatakan bahwa perekonomian Asia menyumbang 29 persen produksi dunia pada tahun 2000, dan ternyata laporan itu sesuai dengan kenyataannya. Sebagai sumber baru produk dan teknologi, dan sebagai pasar konsumen yang sangat besar, negara-negara Asia, termasuk China sebagai salah satu dari Empat Macan (atau Empat Naga) Asia[3] mulai mengalami kemajuan yang sangat pesat.[4]

Selama dua dekade terakhir, terutama sejak era Reformasi Pintu Terbuka (gaige kaifang pada tahun 1978), China mengalami perkembangan yang sangat pesat.[5] Kemajuan China tersebut juga dibarengi partisipasi aktif China ke dalam integrasi masyarakat internasional (WTO, World Bank, ARF, Six Party Talk, ASEM, dll). Dalam langkah-langkah strategisnya di kancah politik global, di satu sisi China terus membenahi kekuatan militernya, sekaligus juga memfokuskan diri pada soft power-nya.

Soft power, seperti yang dikemukakan oleh Joseph Nye, merupakan salah satu cara selain kekerasan militer dalam usaha memengaruhi negara/aktor-aktor lain agar tunduk/mengikuti kemauan si negara/aktor terkait. Dalam lingkup Asia-Pasifik, pesona China sebagai ‘the emerging market’ dan jangkar regionalisme[6] begitu terasa, terutama untuk negara-negara ASEAN. Untuk pertama kalinya setelah era perang dingin usai, negara-negara ASEAN akan menghadapi ‘bahaya kapitalisme China’, bukan ‘bahaya komunisme China’ yang dulu sangat ditakuti itu.[7] Apabila beberapa dekade lalu China menggunakan politik luar negeri komunisme militan secara agresif untuk menggalang solidaritas dunia ketiga melawan kapitalisme global, kini China justru beralih dengan politik nasionalis pragmatisnya yang memfokuskan diri pada perkembangan ekonominya.[8]

Pilihan kata ‘bahaya kapitalisme’ China dalam tulisan singkat ini mengacu pada perkembangan pesat China di bidang perekonomian dan implikasinya terhadap negara-negara lain. China yang kita amati sekarang adalah ‘one of the giant market[9] yang memiliki pengaruh tidak kecil bagi politik global, terutama negara-negara tetangga terdekatnya. Tulisan singkat ini secara khusus bermaksud untuk membahas karakteristik utama soft power China dalam bidang perekonomian, beserta karakteristik-karakteristik dasarnya.


II. Pesona China dan “Harga China

Sejak periode krisis finansial Asia pada tahun 1997, persepsi China di kawasan Asia Tenggara berubah total. Beberapa dekade lalu, negara yang sering dicap sebagai negeri “tirai bambu” ini merupakan momok yang menakutkan, apalagi terkait ideologi komunisme-sosialisme yang dianutnya.[10] Para decision-makers dan masyarakat ASEAN kini memandang China sebagai salah satu kekuatan utama regional yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan lain-lain.[11] Citra baru China ini tidak berlebihan jika kita bisa bersikap kritis saat menyaksikan prestasi China yang baru saja sukses melangsungkan even olimpiade termahal sepanjang sejarah[12] hingga pengiriman astronotnya untuk melakukan space-walk (2008); Pada momen waktu yang berdekatan, kontras sekali keadaannya dibandingkan AS dan negara-negara barat lain yang sibuk menggelontorkan dana hingga miliaran dollar USD untuk menyelamatkan sistem finansialnya.[13] Dalam isu yang sama, tidak heran jika China yang berhasil mengumpulkan cadangan devisa sebanyak 1,81 trilyun USD hingga Oktober 2008 diminta berkontribusi untuk penanganan krisis finansial global yang terjadi baru-baru ini.[14]

China juga aktif dalam organisasi kerja sama regional seperti ASEAN Regional Forum (ARF), ASEM, Six Party Talk, SCO, maupun berhubungan langsung dengan negara-negara yang bersangkutan. Ekspor produk dan jasa China yang terkenal sangat murah dan cukup berkualitas itu mencapai berbagai penjuru dunia sehingga gangguan (distortion&abusement) sekecil apa pun terhadap produksi China dapat menimbulkan guncangan yang tidak kecil bagi masyarakat internasional.[15] Dalam konteks ini, salah satu pertanyaan kritis yang dapat kita ajukan adalah bagaimana para investor dunia begitu tertarik untuk menanamkan investasi bahkan merelokasi pabrik-pabriknya ke China?

Dalam beberapa penelusuran pustaka seperti buku-buku dan berita dari media cetak maupun website, “harga China” adalah salah satu apek yang sering kita dengar terkait soft power China ini.[16] “Harga China” merujuk pada kenyataan bahwa produsen barang China dapat secara besar-besaran mengalahkan harga yang ditawarkan oleh para pesaing luar negeri untuk banyak jenis produk dan jasa yang sangat beragam.[17] Implikasinya dalam bidang bisnis, para investor dunia berlomba-lomba menanamkan sahamnya ke China karena (sangat) rendahnya cost yang dikeluarkan demi laba atau margin yang semaksimal mungkin dibanding wilayah-wilayah bisnis lainnya di dunia.[18] Strategi ini juga ‘dipersenjatai’ dengan program pembukaan daerah-daerah kantong bisnis China yang menawarkan beragam kemudahan dan fasilitas terbaik.[19] Kantong bisnis semacam ini dikenal dengan Zona Ekonomi Khusus (SEZ). Dewasa ini, dengan strategi tersebut China memproduksi lebih dari 70% DVD dan mainan dunia; lebih setengah produksi sepeda dunia, kamera, sepatu, dan telepon. dan lebih dari sepertiga pendingin udara, TV berwarna, layar komputer, koper, dan microwave dunia. China juga telah menetapkan posisi pasar dominan dalam segala hal seperti mebel, kulkas mesin cuci, jins, hingga celana dalam.[20]

Mengingat kemampuan China yang telah terbukti dalam menaklukkan pasar ekspor dunia satu demi satu, ini kembali pada pertanyaan dasar kita: Bagaimana pengaruh China sehingga bisa muncul sebagai “pusat pabrikan” (factory floor) dunia? Jawabannya terletak dalam “harga China” tadi. Kesembilan “penggerak” utama harga China adalah sebagai berikut:[21]

  1. Pekerja/buruh berupah rendah dan berkualitas tinggi yang sangat disiplin, berpendidikan cukup, dan tidak ada serikat buruh;
  2. Peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang belum maksimal;
  3. Penegakan dan (kesadaran hukum) lingkungan yang masih longgar;
  4. Peran FDI;
  5. “Gugus jaringan (network clustering) yang sangat efisien dalam proses industri;
  6. Kampanye melawan pembajakan yang masih rendah;
  7. Devaluasi mata uang yuan secara terus-menerus;
  8. Subsidi pemerintah secara besar-besaran terhadap beberapa industri yang ditentukan; dan
  9. Hambatan perdagangan proteksionis “Tembok Besar”.


II.I. Pekerja/Buruh Berupah Rendah dan Berkualitas Tinggi yang Sangat Disiplin, Berpendidikan Cukup, dan tidak ada Serikat Buruh

Upah buruh di China per jamnya kira-kira di bawah 1 USD.[22] Angka ini sama rendahnya bahkan relatif lebih tinggi dibanding negara-negara lain seperti Republik Dominika, Nikaragua, Bangladesh, Pakistan, Birma, Kamboja, dan Vietnam. Walaupun tingkat upahnya lebih rendah dan kondisi pekerjaannya sama buruknya, tidak satu pun di antara negara-negara tersebut yang dapat bersaing secara efektif dengan China. Para pekerja China mempunyai pendidikan yang relatif lebih baik dan berdisiplin tinggi.[23] Di samping itu, China memiliki buruh yang menganggur penuh dan setengah menganggur yang jumlahnya hampir sebanyak orang yang dipekerjakan seluruh Amerika.[24] Kenyataan itu ditambah dengan fakta bahwa keberadaan serikat buruh memang dilarang di China.[25] Dalam perspektif yang benar, ini berarti bahwa dalam tingkat global produktivitas tinggi dan “pasukan cadangan” pekerja China tersebut menawarkan segudang peluang bagi para investor dan industrialis dunia.


II.II. Peraturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang Belum Maksimal, serta Kesadaran Hukum Lingkungan yang Masih Rendah

Pemerintah China hanya memberlakukan beberapa peraturan kesehatan dan keselamatan kerja terhadap BUMN-BUMN yang masih tersisa. Bahkan aturan-aturan yang sudah dibuat hanya ditegakkan dengan lemah, dihindari, diabaikan, dan bersifat simbolik semata (sekadar formalitas).[26] Perlindungan hak buruh yang diimplementasikan melalui produk hukum jumlahnya sudah cukup komperehensif, akan tetapi sangat kontras dengan praktik konkretnya. Buruh di China cenderung pasif terhadap politik (politically passive), dan tunduk pada “hegemoni pasar”.[27]

Maka, tidaklah mengherankan jika minimnya penegakan sistem peraturan dan hukum dasar seperti ini dipandang sebagai keuntungan besar oleh MNC dunia yang selama ini tunduk pada aturan hukum yang sangat ketat di negeri asalnya. Kepakan sayap laissez faire China yang dalam konteks ini cenderung berkarakteristik negatif, menarik modal asing datang berbondong-bondong ke pesisir pantai China. Dengan cara ini, negara-negara tetangganya seperti Korea, Jepang, dan Taiwan hingga AS bisa “mengekspor” polusi dan risiko di tempat kerjanya menuju China.


II.III. Peran FDI

Sejak tahun 1983, FDI yang masuk ke China kurang dari 1 miliar USD per tahun sebelum meningkat menjadi 55 miliar USD, dan diproyeksikan mencapai 100 miliar USD setiap tahunnya. Sebagian besar dana itu bersumber dari Hongkong, AS, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Virgin Islands, Cayman Islands, Jerman, dan Inggris.[28]

FDI yang masuk ke China itu memungkinkan kelangsungan proses produksi sekaligus alih teknologi tercanggih bagi perkembangan industri China. Dalam bidang SDM, perkembangan pesat di China juga berarti mengundang masuk para manajer kelas dunia, yang secara langsung atau tidak langsung menyinergikan lead advantages buruh murah tapi berproduktivitas tinggi dengan crème de la crème manajerial asing.


II.IV. “Network Clustering” ala China

Untuk memproduksi berbagai jenis produk ekspor China, perusahaan-perusahaan yang berlokasi berdekatan secara fisik membentuk jaringan yang sangat sinergis, dan gugus aktivitas yang menghasilkan ekonomi skala (economy of scale) serta ekonomi lingkup (economy of scope) yang sangat penting. Dalam praktiknya, gugus-gugus jaringan industri itu menjadi penjelmaan modern pabrik peniti Adam Smith yang terkenal itu, di mana pembagian tugas (division of labor) yang ekstrem dan efisiensi hiper-ekonomi sama-sama memegang kendali proses industri. Berikut sebuah contoh gambar yang dikutip dari buku Regional Powerhouse untuk menggambarkan gugus jaringan tersebut:







Sumber: Michael Enright, Edith Scott, dan Ka-Mun Chang, Regional Powerhouse: The Greater Pearl River Delta and the Rise of China, (Singapore: John Wiley&Sons, 2005), hlm. 57.

Dengan model seperti ini, banyak daerah, kota, dan puluhan ribu hektar tanah di China yang disulap menjadi tempat-tempat produksi industri. Terjadi penghematan yang sangat besar dalam biaya transportasi, dan sekaligus mempercepat penyebaran pengetahuan dan informasi.


II.V. Pembajakan di China

Masalah pembajakan produk dan penghargaan terhadap hak kekayaan intelektual/hak cipta (HAKI) di China merupakan masalah yang sangat kompleks. Meskipun pemerintah China sudah berulang-ulang kali ditekan dunia internasional agar patuh terhadap standar-standar WTO, China tetap dianggap uneven and incomplete,[29] salah satunya terkait isu HAKI ini. Dalam kenyataan di lapangan, praktik pembajakan masih merajalela di China. Salah satu variabel yang bisa menjelaskan masalah ini adalah pesatnya pertumbuhan UKM di China dan kurangnya kontrol pemerintah terhadap aktivitas UKM yang jumlahnya menjamur itu.


II.VI. Devaluasi yuan secara terus-menerus

Negara-negara seperti AS, Jepang, dan Uni Eropa tunduk pada sistem “nilai tukar mengambang” di mana dollar, yen, dan euro ditentukan oleh pasar bebas. Dengan demikian, ketika suatu negara seperti AS melihat defisit perdagangannya dengan Jepang atau Uni Eropa mengalami kenaikan, nilai dollar akan cenderung jatuh terhadap yen dan euro karena dollar menumpuk di bank-bank luar negeri.[30] Dollar yang melemah ini menyebabkan impor AS menjadi lebih mahal dan ekspor AS lebih bersaing. Menurut teori Neoliberalisme dalam ilmu ekonomi, dengan cara seperti inilah kekuatan-kekuatan pasar bebas dalam pasar mata uang dunia dapat membantu aliran perdagangan global kembali seimbang.

China menganut sistem “nilai tukar tetap” di mana dia mematok nilai mata uangnya (yuan) terhadap nilai dollar AS (US$).[31] Ini berarti bahwa tidak peduli seberapa besar defisit perdagangan yang dialami AS dengan China, dollar tidak dapat jatuh terhadap yuan.[32] Pematokan tetap ini merupakan salah satu mesin pertumbuhan China yang memberikannya keuntungan besar terhadap negara-negara lain.


II.VII. Subsidi Pemerintah dan Tembok Besar Proteksionisme China

Beberapa bidang usaha yang masih disubsidi pemerintah China, antara lain:[33]

1. Perusahaan listrik dan air;

2. Perusahaan pengolah bahan mentah;

3. Perusahaan transportasi; dan

4. Perusahaan jasa telekomunikasi.

Dengan program subsidi seperti itu, komponen-komponen dasar yang melandasi kegiatan utama industri biayanya sangat murah. Bagi BUMN China yang merupakan sektor-sektor utama perekonomian seperti minyak dan baja, keuntungan tersebut juga masih ditambah oleh adanya lahan gratis yang memang disediakan pemerintah. Selain itu, bank-bank BUMN China juga menyediakan modal dan kredit yang tidak sedikit untuk perusahaan-perusahaan domestik, seperti bidang bioteknologi, elektronik, komputer, mobil, hingga pesawat terbang. Meskipun China sudah masuk ke dalam keanggotaan WTO secara resmi pada tahun 2001, perjalanan menuju China yang benar-benar mematuhi aturan perdagangan bebas masih panjang.[34]


III. Kesimpulan

“Harga China” merupakan salah satu soft power China dalam bidang perekonomian. Di satu sisi, kekuatannya menarik para investor dunia sehingga mereka berlomba-lomba menginvestasikan modalnya ke China. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi China melesat pesat. Ketika China semakin terintegrasi dalam dunia internasional, implikasinya pun semakin ‘internasional’ juga. Ini mengantarkan kita pada sisi lainnya, soft power China dengan segala daya pikatnya juga mengandung karakteristik-karakteristik yang boleh dibilang “tidak selalu positif”.

Daya pikat soft power China, terutama dalam perekonomian ini membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam dan kritis: Apakah kerja sama yang hendak kita langsungkan dengan China setidaknya akan menguntungkan kedua belah pihak atau tidak? Ini berpulang pada masing-masing pihak untuk mengenali segala macam karakteristik daya pikat China ini, lalu mempertimbangkannya secara rasional.

Dalam jangka panjangnya, China masih memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan perekonomian AS atau pun Jepang karena China diuntungkan oleh besarnya entitas pasar domestik yang dapat terus memacu pertumbuhan ekonominya,[35] apalagi ketika ekonomi global sedang lesu karena krisis finansial global yang terjadi baru-baru ini. Jadi, apakah Anda tertarik dengan “harga China”? Atau “harga China” malah memenangkan persaingan sengit dengan usaha Anda ataupun competition among states itu sendiri?


DAFTAR PUSTAKA

Austin, Ian. Pragmatism and Public Policy in East Asia: Origins, Adaptations and Developments. Singapore: Fairmont International Private Limited. (2001).

Brahm, Laurence J – (ed). China After WTO. Beijing: China Intercontinental Press. (2002).

Brahm, Laurence J. China’s Century: The Awakening of the Next Economy Powerhouse. Singapore: John Wiley&Sons. (2001).

Djafar, Zaenudin. Indonesia, ASEAN, dan Dinamika Asia Timur. Jakarta: Pustaka Jaya. (2008).

Enright, Michael dan Scott, Edith dan Ka, Mun Chang. Regional Powerhouse: The Greater Pearl River Delta and the Rise of China. Singapore: John Wiley&Sons. (2005).

Far Eastern Economic Review, 2 Oktober 2003.

Fishman, Ted C. China Inc. – (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. (Cetakan ke-4 Januari 2007).

Habermas, Juergen. Legitimation Crisis. London: Heinemann. (1976).

Lam, N. Mark dan Graham, John L. China Now – (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. (2007).

Navarro, Peter. Letupan-letupan Perang China Mendatang – (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. (2008).

Nye, Joseph S. Jr. Soft Power: The Means To Success in World Politics. New York: Public Affairs. (2004).

Overholt, William J. The Rise of China. New York: Norton. (1993).

Wibowo, I. Belajar dari China. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. (2004).

Wu, Jinglian. Understanding and Interpreting Chinese Economic Reform. Singapore: Textere Publisher. (2005).

Daftar Pustaka Web

http://www.asiaweek.com

http://www.financialexpress.com

http://www.kompas.com


[1] Joseph S. Nye, JR., Soft Power: The Means to Success in World Politics, (New York: Public Affairs, 2004), hlm. x.

[2] Untuk informasi terbaru mengenai negara-negara di Asia lih. www.asiaweek.com

[3] Terminologi “Empat Macan/Empat Naga” Asia mengacu pada Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan yang masing-masing mampu mengangkut statusnya dari negara berkembang menjadi negara industri baru, dan menjadi pesaing-pesaing baru industri barat dalam bidang elektronik, pembangunan kapal, mesin berat, dan beragam produk lainnya.

[4] Salah satu literatur yang secara optimistis membahas kemajuan China ini lih. misalnya, Laurence J. Brahm, China’s Century: The Awakening of the Next Economy Powerhouse, (Singapore: John Wiley&Sons, 2001). Dalam buku ini dikatakan bahwa tidak lama lagi China akan menjelma menjadi “economic powerhouse”, di samping beberapa kelemahan yang diakui masih dimiliki China.

[5] Ada banyak literatur yang membahas ‘keajaiban’ perkembangan China pada era 1980-an hingga 1990-an, salah satunya yang cukup komperehensif dan akurat lih. William J. Overholt, The Rise of China, (New York: Norton, 1993).

[6] Kompas, 19 Desember 2005.

[7] China sudah berubah menjadi kapitalis? lih. I. Wibowo, Belajar dari China, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), terutama bab III.

[8] Partai Komunis China beralih menganut teori economic growth untuk mempertahankan legitimasinya lih. I. Wibowo, ibid., hlm. 167-170, dan pembahasan lengkap tentang economic legitimation dalam Juergen Habermas, Legitimation Crisis, (London: Heinemann, 1976).

[9] Zaenudin Djafar, Indonesia, ASEAN, dan Dinamika Asia Timur, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2008), hlm. 111.

[10] China sebelum era tahun 1977 adalah China di bawah kepemimpinan Mao Zedong. Dalam kepemerintahannya, ketua Mao mengadopsi pemikiran Marxisme-Leninisme plus pemikirannya sendiri yang dikenal sebagai “Mao Zedong sixiang”. Salah satu buah pemikiran revolusioner Mao bagi perkembangan politik China adalah gerakan proletariat “wenhua geming” atau Revolusi Kebudayaan (1966-1976).

[11] Kompas, 19 Desember 2005.

[12] 45 milyar USD, bahkan ada yang memperkirakan mencapai 70 milyar USD lih. http://financialexpress.com/news/beijing-olympics-have-been-most-expensive-so-far/348024

[14] “Peran China Dinantikan untuk Mengatasi Krisis”, Kompas, 9 Oktober 2008, hlm. 15.

[15] Salah satu kasus besar dan terjadi baru-baru ini saja adalah kasus susu bermelamin asal China. Negara-negara di dunia beramai-ramai ‘menertibkan’ produk susu China. Salah satu beritanya dapat disimak di

http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/27/15400821/bpom.soal.susu.china.seluruh.dunia.kecolongan

[16] Untuk penjelasan lebih mendalam lih. Ted C. Fishman, China Inc., – (terjemahan), (Jakarta: Elex Media Komputindo, cetakan ke-4 Januari 2007), bab VII, dan Peter Navarro, Letupan-letupan Perang China Mendatang, - (terjemahan), (Jakarta: Elex Media Komputindo, Januari 2008), bab I.

[17] Peter Navarro, ibid., hlm. 2.

[18] Ted C. Fishman, ibid., hlm. 231-232.

[19] SEZ China tersebut antara lain mencakup Hongkong, Macau, daerah sepanjang delta sungai Yangzi, dan kota-kota pesisir di daerah selatan dan timur China. Untuk lebih lengkapnya lih. Zaenudin Djafar, op.cit., hlm. 100-105.

[20] Peter Navarro, ibid.

[21] Dirangkum dari Peter Navarro, ibid. hlm. 2-21.

[22] Pete Engardio, Dexter Roberts, dan Brian Bremner di Beijing, dan laporan biro, “The China Price”, Business Week, 6 Desember 2004 lih.

http://www.businessweek.com/magazine/content/04_49/b3911401.htm

[23] Ted Fishman, op.cit., hlm. 251-254.

[24] Angkatan kerja sipil AS jumlahnya sekitar 150 juta jiwa.

[25] Sesuai dengan keputusan pemerintah China, serikat buruh satu-satunya yang boleh ada di China adalah Partai Komunis China. Ini sesuai dengan prinsip dasar politik China di mana PKC adalah penguasa tunggal atas hajat hidup rakyatnya.

[26] Peter Navarro, op.cit., hlm 12.

[27] Topik mengenai buruh ini dibahas secara komperehensif dlm I. Wibowo, op.cit., bab XII, “Buruh di China: Tercengkeram dalam Hegemoni Pasar”, hlm. 187-203.

[28] Diolah dari Peter Navarro, op.cit., hlm. 14, dan Wu Jinglian, Understanding and Interpreting Chinese Economic Reform, (Singapore: Textere Publisher, 2005), hlm. 301.

[29] Untuk pembahasan lebih lanjut lih. “The One-Two Punch”, Far Eastern Economic Review (2 Oktober 2003), hlm. 26-28.

[30] Menurut pakar ekonomi klasik, konsep “memegang kepemilikan hal-hal lain secara terus-menerus” berpengaruh terhadap fluktuasi harga dan permintaan.

[31] Praktik ini terus berlangsung hingga sekarang.

[32] Peter Navarro, op.cit., hlm. 19.

[33] Peter Navarro, ibid., hlm. 19-21.

[34] Ada beberapa literatur yang membahas tentang keanggotaan China dalam WTO. Salah satunya yang komperehensif lih. misalnya, Laurence J. Brahm - (ed), China After WTO, (Beijing: China Intercontinental Press, 2002).

[35] N. Mark Lam dan John L. Graham, China Now – (terjemahan), (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007), hlm. 69.