From Denis Toruan to you...

"For Travel Addict"

"For Travel Addict"
The only premium free magazine in Indonesia

05 April 2009

Mekanisme Pembayaran Pemesanan Produk Mandarin


Bank Central Asia (BCA)
no. rek 8690457874
Cab. Margonda Depok
a.n. Denis PEJL Toruan

Bank Rakyat Indonesia (BRI)
no. rek 1202-01-000053-50-5
Cab. Kompas Palmerah
a.n Denis PEJL Toruan


* Biaya pengantaran barang dalam kota Rp 10.000,++
Luar kota antara Rp 15.000,++ - 20.000,++

04 April 2009

“Harga China” Sebagai Soft Power China di Bidang Perekonomian dan Karakteristik-karakteristik Dasarnya


"[Soft power] is the ability to get what you want through attraction rather than coercion or payments. It arises from the attractiveness of a country's culture, political ideals, and policies. When our policies are seen as legitimate in the eyes of others, our soft power is enhanced." [1]

- Joseph S. Nye, JR.

oleh: Denis L. Toruan


I. Kebangkitan Asia Timur

Asia merupakan salah satu benua dengan pertumbuhan ekonomi yang termasuk paling cepat di dunia dalam tiga dekade terakhir, dan memiliki prospek yang sangat baik untuk melanjutkan pertumbuhan ekonominya dalam jangka panjang.[2] Dimulai pada tahun 1996, negara-negara dengan perekonomian termakmur di Asia, yakni Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan yang mengalami krisis keuangan sangat parah dengan puncak keambrukan pada pasar saham Asia. Kebijakan uang ketat, naiknya nilai tukar mata uang terhadap dolar Amerika (USD), dan penurunan laju ekspor ikut menambah parah krisis keuangan itu. Betapa pun parahnya pergeseran ekonomi waktu itu, prediksi International Monetary Fund/IMF yang melaporkan pada tahun 1993, menyatakan bahwa perekonomian Asia menyumbang 29 persen produksi dunia pada tahun 2000, dan ternyata laporan itu sesuai dengan kenyataannya. Sebagai sumber baru produk dan teknologi, dan sebagai pasar konsumen yang sangat besar, negara-negara Asia, termasuk China sebagai salah satu dari Empat Macan (atau Empat Naga) Asia[3] mulai mengalami kemajuan yang sangat pesat.[4]

Selama dua dekade terakhir, terutama sejak era Reformasi Pintu Terbuka (gaige kaifang pada tahun 1978), China mengalami perkembangan yang sangat pesat.[5] Kemajuan China tersebut juga dibarengi partisipasi aktif China ke dalam integrasi masyarakat internasional (WTO, World Bank, ARF, Six Party Talk, ASEM, dll). Dalam langkah-langkah strategisnya di kancah politik global, di satu sisi China terus membenahi kekuatan militernya, sekaligus juga memfokuskan diri pada soft power-nya.

Soft power, seperti yang dikemukakan oleh Joseph Nye, merupakan salah satu cara selain kekerasan militer dalam usaha memengaruhi negara/aktor-aktor lain agar tunduk/mengikuti kemauan si negara/aktor terkait. Dalam lingkup Asia-Pasifik, pesona China sebagai ‘the emerging market’ dan jangkar regionalisme[6] begitu terasa, terutama untuk negara-negara ASEAN. Untuk pertama kalinya setelah era perang dingin usai, negara-negara ASEAN akan menghadapi ‘bahaya kapitalisme China’, bukan ‘bahaya komunisme China’ yang dulu sangat ditakuti itu.[7] Apabila beberapa dekade lalu China menggunakan politik luar negeri komunisme militan secara agresif untuk menggalang solidaritas dunia ketiga melawan kapitalisme global, kini China justru beralih dengan politik nasionalis pragmatisnya yang memfokuskan diri pada perkembangan ekonominya.[8]

Pilihan kata ‘bahaya kapitalisme’ China dalam tulisan singkat ini mengacu pada perkembangan pesat China di bidang perekonomian dan implikasinya terhadap negara-negara lain. China yang kita amati sekarang adalah ‘one of the giant market[9] yang memiliki pengaruh tidak kecil bagi politik global, terutama negara-negara tetangga terdekatnya. Tulisan singkat ini secara khusus bermaksud untuk membahas karakteristik utama soft power China dalam bidang perekonomian, beserta karakteristik-karakteristik dasarnya.


II. Pesona China dan “Harga China

Sejak periode krisis finansial Asia pada tahun 1997, persepsi China di kawasan Asia Tenggara berubah total. Beberapa dekade lalu, negara yang sering dicap sebagai negeri “tirai bambu” ini merupakan momok yang menakutkan, apalagi terkait ideologi komunisme-sosialisme yang dianutnya.[10] Para decision-makers dan masyarakat ASEAN kini memandang China sebagai salah satu kekuatan utama regional yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan lain-lain.[11] Citra baru China ini tidak berlebihan jika kita bisa bersikap kritis saat menyaksikan prestasi China yang baru saja sukses melangsungkan even olimpiade termahal sepanjang sejarah[12] hingga pengiriman astronotnya untuk melakukan space-walk (2008); Pada momen waktu yang berdekatan, kontras sekali keadaannya dibandingkan AS dan negara-negara barat lain yang sibuk menggelontorkan dana hingga miliaran dollar USD untuk menyelamatkan sistem finansialnya.[13] Dalam isu yang sama, tidak heran jika China yang berhasil mengumpulkan cadangan devisa sebanyak 1,81 trilyun USD hingga Oktober 2008 diminta berkontribusi untuk penanganan krisis finansial global yang terjadi baru-baru ini.[14]

China juga aktif dalam organisasi kerja sama regional seperti ASEAN Regional Forum (ARF), ASEM, Six Party Talk, SCO, maupun berhubungan langsung dengan negara-negara yang bersangkutan. Ekspor produk dan jasa China yang terkenal sangat murah dan cukup berkualitas itu mencapai berbagai penjuru dunia sehingga gangguan (distortion&abusement) sekecil apa pun terhadap produksi China dapat menimbulkan guncangan yang tidak kecil bagi masyarakat internasional.[15] Dalam konteks ini, salah satu pertanyaan kritis yang dapat kita ajukan adalah bagaimana para investor dunia begitu tertarik untuk menanamkan investasi bahkan merelokasi pabrik-pabriknya ke China?

Dalam beberapa penelusuran pustaka seperti buku-buku dan berita dari media cetak maupun website, “harga China” adalah salah satu apek yang sering kita dengar terkait soft power China ini.[16] “Harga China” merujuk pada kenyataan bahwa produsen barang China dapat secara besar-besaran mengalahkan harga yang ditawarkan oleh para pesaing luar negeri untuk banyak jenis produk dan jasa yang sangat beragam.[17] Implikasinya dalam bidang bisnis, para investor dunia berlomba-lomba menanamkan sahamnya ke China karena (sangat) rendahnya cost yang dikeluarkan demi laba atau margin yang semaksimal mungkin dibanding wilayah-wilayah bisnis lainnya di dunia.[18] Strategi ini juga ‘dipersenjatai’ dengan program pembukaan daerah-daerah kantong bisnis China yang menawarkan beragam kemudahan dan fasilitas terbaik.[19] Kantong bisnis semacam ini dikenal dengan Zona Ekonomi Khusus (SEZ). Dewasa ini, dengan strategi tersebut China memproduksi lebih dari 70% DVD dan mainan dunia; lebih setengah produksi sepeda dunia, kamera, sepatu, dan telepon. dan lebih dari sepertiga pendingin udara, TV berwarna, layar komputer, koper, dan microwave dunia. China juga telah menetapkan posisi pasar dominan dalam segala hal seperti mebel, kulkas mesin cuci, jins, hingga celana dalam.[20]

Mengingat kemampuan China yang telah terbukti dalam menaklukkan pasar ekspor dunia satu demi satu, ini kembali pada pertanyaan dasar kita: Bagaimana pengaruh China sehingga bisa muncul sebagai “pusat pabrikan” (factory floor) dunia? Jawabannya terletak dalam “harga China” tadi. Kesembilan “penggerak” utama harga China adalah sebagai berikut:[21]

  1. Pekerja/buruh berupah rendah dan berkualitas tinggi yang sangat disiplin, berpendidikan cukup, dan tidak ada serikat buruh;
  2. Peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang belum maksimal;
  3. Penegakan dan (kesadaran hukum) lingkungan yang masih longgar;
  4. Peran FDI;
  5. “Gugus jaringan (network clustering) yang sangat efisien dalam proses industri;
  6. Kampanye melawan pembajakan yang masih rendah;
  7. Devaluasi mata uang yuan secara terus-menerus;
  8. Subsidi pemerintah secara besar-besaran terhadap beberapa industri yang ditentukan; dan
  9. Hambatan perdagangan proteksionis “Tembok Besar”.


II.I. Pekerja/Buruh Berupah Rendah dan Berkualitas Tinggi yang Sangat Disiplin, Berpendidikan Cukup, dan tidak ada Serikat Buruh

Upah buruh di China per jamnya kira-kira di bawah 1 USD.[22] Angka ini sama rendahnya bahkan relatif lebih tinggi dibanding negara-negara lain seperti Republik Dominika, Nikaragua, Bangladesh, Pakistan, Birma, Kamboja, dan Vietnam. Walaupun tingkat upahnya lebih rendah dan kondisi pekerjaannya sama buruknya, tidak satu pun di antara negara-negara tersebut yang dapat bersaing secara efektif dengan China. Para pekerja China mempunyai pendidikan yang relatif lebih baik dan berdisiplin tinggi.[23] Di samping itu, China memiliki buruh yang menganggur penuh dan setengah menganggur yang jumlahnya hampir sebanyak orang yang dipekerjakan seluruh Amerika.[24] Kenyataan itu ditambah dengan fakta bahwa keberadaan serikat buruh memang dilarang di China.[25] Dalam perspektif yang benar, ini berarti bahwa dalam tingkat global produktivitas tinggi dan “pasukan cadangan” pekerja China tersebut menawarkan segudang peluang bagi para investor dan industrialis dunia.


II.II. Peraturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja yang Belum Maksimal, serta Kesadaran Hukum Lingkungan yang Masih Rendah

Pemerintah China hanya memberlakukan beberapa peraturan kesehatan dan keselamatan kerja terhadap BUMN-BUMN yang masih tersisa. Bahkan aturan-aturan yang sudah dibuat hanya ditegakkan dengan lemah, dihindari, diabaikan, dan bersifat simbolik semata (sekadar formalitas).[26] Perlindungan hak buruh yang diimplementasikan melalui produk hukum jumlahnya sudah cukup komperehensif, akan tetapi sangat kontras dengan praktik konkretnya. Buruh di China cenderung pasif terhadap politik (politically passive), dan tunduk pada “hegemoni pasar”.[27]

Maka, tidaklah mengherankan jika minimnya penegakan sistem peraturan dan hukum dasar seperti ini dipandang sebagai keuntungan besar oleh MNC dunia yang selama ini tunduk pada aturan hukum yang sangat ketat di negeri asalnya. Kepakan sayap laissez faire China yang dalam konteks ini cenderung berkarakteristik negatif, menarik modal asing datang berbondong-bondong ke pesisir pantai China. Dengan cara ini, negara-negara tetangganya seperti Korea, Jepang, dan Taiwan hingga AS bisa “mengekspor” polusi dan risiko di tempat kerjanya menuju China.


II.III. Peran FDI

Sejak tahun 1983, FDI yang masuk ke China kurang dari 1 miliar USD per tahun sebelum meningkat menjadi 55 miliar USD, dan diproyeksikan mencapai 100 miliar USD setiap tahunnya. Sebagian besar dana itu bersumber dari Hongkong, AS, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Virgin Islands, Cayman Islands, Jerman, dan Inggris.[28]

FDI yang masuk ke China itu memungkinkan kelangsungan proses produksi sekaligus alih teknologi tercanggih bagi perkembangan industri China. Dalam bidang SDM, perkembangan pesat di China juga berarti mengundang masuk para manajer kelas dunia, yang secara langsung atau tidak langsung menyinergikan lead advantages buruh murah tapi berproduktivitas tinggi dengan crème de la crème manajerial asing.


II.IV. “Network Clustering” ala China

Untuk memproduksi berbagai jenis produk ekspor China, perusahaan-perusahaan yang berlokasi berdekatan secara fisik membentuk jaringan yang sangat sinergis, dan gugus aktivitas yang menghasilkan ekonomi skala (economy of scale) serta ekonomi lingkup (economy of scope) yang sangat penting. Dalam praktiknya, gugus-gugus jaringan industri itu menjadi penjelmaan modern pabrik peniti Adam Smith yang terkenal itu, di mana pembagian tugas (division of labor) yang ekstrem dan efisiensi hiper-ekonomi sama-sama memegang kendali proses industri. Berikut sebuah contoh gambar yang dikutip dari buku Regional Powerhouse untuk menggambarkan gugus jaringan tersebut:







Sumber: Michael Enright, Edith Scott, dan Ka-Mun Chang, Regional Powerhouse: The Greater Pearl River Delta and the Rise of China, (Singapore: John Wiley&Sons, 2005), hlm. 57.

Dengan model seperti ini, banyak daerah, kota, dan puluhan ribu hektar tanah di China yang disulap menjadi tempat-tempat produksi industri. Terjadi penghematan yang sangat besar dalam biaya transportasi, dan sekaligus mempercepat penyebaran pengetahuan dan informasi.


II.V. Pembajakan di China

Masalah pembajakan produk dan penghargaan terhadap hak kekayaan intelektual/hak cipta (HAKI) di China merupakan masalah yang sangat kompleks. Meskipun pemerintah China sudah berulang-ulang kali ditekan dunia internasional agar patuh terhadap standar-standar WTO, China tetap dianggap uneven and incomplete,[29] salah satunya terkait isu HAKI ini. Dalam kenyataan di lapangan, praktik pembajakan masih merajalela di China. Salah satu variabel yang bisa menjelaskan masalah ini adalah pesatnya pertumbuhan UKM di China dan kurangnya kontrol pemerintah terhadap aktivitas UKM yang jumlahnya menjamur itu.


II.VI. Devaluasi yuan secara terus-menerus

Negara-negara seperti AS, Jepang, dan Uni Eropa tunduk pada sistem “nilai tukar mengambang” di mana dollar, yen, dan euro ditentukan oleh pasar bebas. Dengan demikian, ketika suatu negara seperti AS melihat defisit perdagangannya dengan Jepang atau Uni Eropa mengalami kenaikan, nilai dollar akan cenderung jatuh terhadap yen dan euro karena dollar menumpuk di bank-bank luar negeri.[30] Dollar yang melemah ini menyebabkan impor AS menjadi lebih mahal dan ekspor AS lebih bersaing. Menurut teori Neoliberalisme dalam ilmu ekonomi, dengan cara seperti inilah kekuatan-kekuatan pasar bebas dalam pasar mata uang dunia dapat membantu aliran perdagangan global kembali seimbang.

China menganut sistem “nilai tukar tetap” di mana dia mematok nilai mata uangnya (yuan) terhadap nilai dollar AS (US$).[31] Ini berarti bahwa tidak peduli seberapa besar defisit perdagangan yang dialami AS dengan China, dollar tidak dapat jatuh terhadap yuan.[32] Pematokan tetap ini merupakan salah satu mesin pertumbuhan China yang memberikannya keuntungan besar terhadap negara-negara lain.


II.VII. Subsidi Pemerintah dan Tembok Besar Proteksionisme China

Beberapa bidang usaha yang masih disubsidi pemerintah China, antara lain:[33]

1. Perusahaan listrik dan air;

2. Perusahaan pengolah bahan mentah;

3. Perusahaan transportasi; dan

4. Perusahaan jasa telekomunikasi.

Dengan program subsidi seperti itu, komponen-komponen dasar yang melandasi kegiatan utama industri biayanya sangat murah. Bagi BUMN China yang merupakan sektor-sektor utama perekonomian seperti minyak dan baja, keuntungan tersebut juga masih ditambah oleh adanya lahan gratis yang memang disediakan pemerintah. Selain itu, bank-bank BUMN China juga menyediakan modal dan kredit yang tidak sedikit untuk perusahaan-perusahaan domestik, seperti bidang bioteknologi, elektronik, komputer, mobil, hingga pesawat terbang. Meskipun China sudah masuk ke dalam keanggotaan WTO secara resmi pada tahun 2001, perjalanan menuju China yang benar-benar mematuhi aturan perdagangan bebas masih panjang.[34]


III. Kesimpulan

“Harga China” merupakan salah satu soft power China dalam bidang perekonomian. Di satu sisi, kekuatannya menarik para investor dunia sehingga mereka berlomba-lomba menginvestasikan modalnya ke China. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi China melesat pesat. Ketika China semakin terintegrasi dalam dunia internasional, implikasinya pun semakin ‘internasional’ juga. Ini mengantarkan kita pada sisi lainnya, soft power China dengan segala daya pikatnya juga mengandung karakteristik-karakteristik yang boleh dibilang “tidak selalu positif”.

Daya pikat soft power China, terutama dalam perekonomian ini membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam dan kritis: Apakah kerja sama yang hendak kita langsungkan dengan China setidaknya akan menguntungkan kedua belah pihak atau tidak? Ini berpulang pada masing-masing pihak untuk mengenali segala macam karakteristik daya pikat China ini, lalu mempertimbangkannya secara rasional.

Dalam jangka panjangnya, China masih memiliki potensi yang lebih besar dibandingkan perekonomian AS atau pun Jepang karena China diuntungkan oleh besarnya entitas pasar domestik yang dapat terus memacu pertumbuhan ekonominya,[35] apalagi ketika ekonomi global sedang lesu karena krisis finansial global yang terjadi baru-baru ini. Jadi, apakah Anda tertarik dengan “harga China”? Atau “harga China” malah memenangkan persaingan sengit dengan usaha Anda ataupun competition among states itu sendiri?


DAFTAR PUSTAKA

Austin, Ian. Pragmatism and Public Policy in East Asia: Origins, Adaptations and Developments. Singapore: Fairmont International Private Limited. (2001).

Brahm, Laurence J – (ed). China After WTO. Beijing: China Intercontinental Press. (2002).

Brahm, Laurence J. China’s Century: The Awakening of the Next Economy Powerhouse. Singapore: John Wiley&Sons. (2001).

Djafar, Zaenudin. Indonesia, ASEAN, dan Dinamika Asia Timur. Jakarta: Pustaka Jaya. (2008).

Enright, Michael dan Scott, Edith dan Ka, Mun Chang. Regional Powerhouse: The Greater Pearl River Delta and the Rise of China. Singapore: John Wiley&Sons. (2005).

Far Eastern Economic Review, 2 Oktober 2003.

Fishman, Ted C. China Inc. – (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. (Cetakan ke-4 Januari 2007).

Habermas, Juergen. Legitimation Crisis. London: Heinemann. (1976).

Lam, N. Mark dan Graham, John L. China Now – (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. (2007).

Navarro, Peter. Letupan-letupan Perang China Mendatang – (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. (2008).

Nye, Joseph S. Jr. Soft Power: The Means To Success in World Politics. New York: Public Affairs. (2004).

Overholt, William J. The Rise of China. New York: Norton. (1993).

Wibowo, I. Belajar dari China. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. (2004).

Wu, Jinglian. Understanding and Interpreting Chinese Economic Reform. Singapore: Textere Publisher. (2005).

Daftar Pustaka Web

http://www.asiaweek.com

http://www.financialexpress.com

http://www.kompas.com


[1] Joseph S. Nye, JR., Soft Power: The Means to Success in World Politics, (New York: Public Affairs, 2004), hlm. x.

[2] Untuk informasi terbaru mengenai negara-negara di Asia lih. www.asiaweek.com

[3] Terminologi “Empat Macan/Empat Naga” Asia mengacu pada Hongkong, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan yang masing-masing mampu mengangkut statusnya dari negara berkembang menjadi negara industri baru, dan menjadi pesaing-pesaing baru industri barat dalam bidang elektronik, pembangunan kapal, mesin berat, dan beragam produk lainnya.

[4] Salah satu literatur yang secara optimistis membahas kemajuan China ini lih. misalnya, Laurence J. Brahm, China’s Century: The Awakening of the Next Economy Powerhouse, (Singapore: John Wiley&Sons, 2001). Dalam buku ini dikatakan bahwa tidak lama lagi China akan menjelma menjadi “economic powerhouse”, di samping beberapa kelemahan yang diakui masih dimiliki China.

[5] Ada banyak literatur yang membahas ‘keajaiban’ perkembangan China pada era 1980-an hingga 1990-an, salah satunya yang cukup komperehensif dan akurat lih. William J. Overholt, The Rise of China, (New York: Norton, 1993).

[6] Kompas, 19 Desember 2005.

[7] China sudah berubah menjadi kapitalis? lih. I. Wibowo, Belajar dari China, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), terutama bab III.

[8] Partai Komunis China beralih menganut teori economic growth untuk mempertahankan legitimasinya lih. I. Wibowo, ibid., hlm. 167-170, dan pembahasan lengkap tentang economic legitimation dalam Juergen Habermas, Legitimation Crisis, (London: Heinemann, 1976).

[9] Zaenudin Djafar, Indonesia, ASEAN, dan Dinamika Asia Timur, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2008), hlm. 111.

[10] China sebelum era tahun 1977 adalah China di bawah kepemimpinan Mao Zedong. Dalam kepemerintahannya, ketua Mao mengadopsi pemikiran Marxisme-Leninisme plus pemikirannya sendiri yang dikenal sebagai “Mao Zedong sixiang”. Salah satu buah pemikiran revolusioner Mao bagi perkembangan politik China adalah gerakan proletariat “wenhua geming” atau Revolusi Kebudayaan (1966-1976).

[11] Kompas, 19 Desember 2005.

[12] 45 milyar USD, bahkan ada yang memperkirakan mencapai 70 milyar USD lih. http://financialexpress.com/news/beijing-olympics-have-been-most-expensive-so-far/348024

[14] “Peran China Dinantikan untuk Mengatasi Krisis”, Kompas, 9 Oktober 2008, hlm. 15.

[15] Salah satu kasus besar dan terjadi baru-baru ini saja adalah kasus susu bermelamin asal China. Negara-negara di dunia beramai-ramai ‘menertibkan’ produk susu China. Salah satu beritanya dapat disimak di

http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/27/15400821/bpom.soal.susu.china.seluruh.dunia.kecolongan

[16] Untuk penjelasan lebih mendalam lih. Ted C. Fishman, China Inc., – (terjemahan), (Jakarta: Elex Media Komputindo, cetakan ke-4 Januari 2007), bab VII, dan Peter Navarro, Letupan-letupan Perang China Mendatang, - (terjemahan), (Jakarta: Elex Media Komputindo, Januari 2008), bab I.

[17] Peter Navarro, ibid., hlm. 2.

[18] Ted C. Fishman, ibid., hlm. 231-232.

[19] SEZ China tersebut antara lain mencakup Hongkong, Macau, daerah sepanjang delta sungai Yangzi, dan kota-kota pesisir di daerah selatan dan timur China. Untuk lebih lengkapnya lih. Zaenudin Djafar, op.cit., hlm. 100-105.

[20] Peter Navarro, ibid.

[21] Dirangkum dari Peter Navarro, ibid. hlm. 2-21.

[22] Pete Engardio, Dexter Roberts, dan Brian Bremner di Beijing, dan laporan biro, “The China Price”, Business Week, 6 Desember 2004 lih.

http://www.businessweek.com/magazine/content/04_49/b3911401.htm

[23] Ted Fishman, op.cit., hlm. 251-254.

[24] Angkatan kerja sipil AS jumlahnya sekitar 150 juta jiwa.

[25] Sesuai dengan keputusan pemerintah China, serikat buruh satu-satunya yang boleh ada di China adalah Partai Komunis China. Ini sesuai dengan prinsip dasar politik China di mana PKC adalah penguasa tunggal atas hajat hidup rakyatnya.

[26] Peter Navarro, op.cit., hlm 12.

[27] Topik mengenai buruh ini dibahas secara komperehensif dlm I. Wibowo, op.cit., bab XII, “Buruh di China: Tercengkeram dalam Hegemoni Pasar”, hlm. 187-203.

[28] Diolah dari Peter Navarro, op.cit., hlm. 14, dan Wu Jinglian, Understanding and Interpreting Chinese Economic Reform, (Singapore: Textere Publisher, 2005), hlm. 301.

[29] Untuk pembahasan lebih lanjut lih. “The One-Two Punch”, Far Eastern Economic Review (2 Oktober 2003), hlm. 26-28.

[30] Menurut pakar ekonomi klasik, konsep “memegang kepemilikan hal-hal lain secara terus-menerus” berpengaruh terhadap fluktuasi harga dan permintaan.

[31] Praktik ini terus berlangsung hingga sekarang.

[32] Peter Navarro, op.cit., hlm. 19.

[33] Peter Navarro, ibid., hlm. 19-21.

[34] Ada beberapa literatur yang membahas tentang keanggotaan China dalam WTO. Salah satunya yang komperehensif lih. misalnya, Laurence J. Brahm - (ed), China After WTO, (Beijing: China Intercontinental Press, 2002).

[35] N. Mark Lam dan John L. Graham, China Now – (terjemahan), (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2007), hlm. 69.

04 March 2009

BUDAYA BISNIS RRC PADA ERA GLOBALISASI


oleh : Denis L. Toruan

I. Pendahuluan

Dimulai pada awal era 1980-an[1] RRC mengalami tidak kurang daripada keajaiban ekonomi. Pada tahun 2004, RRC merupakan negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar di dunia; Dengan GDP terbesar keempat di dunia sebesar US$ 8,158 trilyun pada 2005, GDP sebesar kurang lebih US$ 1.703 perkapita pada 2005, dan pertumbuhan ekonomi 9,2% setiap tahunnya.[2] Aspek terpenting dari fenomena ini adalah sebuah sistem terbarunya yang sangat unik. Sistem itu bukan jiplakan dari sistem ekonomi yang pernah ada, melainkan sesuai dengan citarasa Cina yang khas (Prof. Michael Hough, 1995). Sistem ekonomi baru itu akan menjamin pertumbuhan dan kemakmuran Cina sampai abad ke-21. Dengan penduduk yang sekarang sudah mencapai sekitar 1,3 milyar (satu perlima total penduduk dunia), pasar terbesar dunia, RRC selalu akan menyediakan peluang bisnis yang menggiurkan dan menguntungkan bagi pengusaha manapun juga.

Pencapaian RRC moderen tidak lepas dari usaha Partai Komunis Cina (PKC) yang mereformasi negaranya secara besar-besaran dan menciptakan sistemnya yang unik: you Zhongguo tese de shehuizhuyi 有中国特色的社会主义, atau Sosialisme yang bercirikan Cina. Pada bidang ekonomi, pidato Deng Xiaoping yang dikenal sebagai “ucapan nanxun[3] dikristalisasikan dalam Konggres Nasional PKC ke-14 (September 1992), yang kemudian melahirkan rumusan shehuizhuyi shichang jingji 社会主义市场经济 (ekonomi pasar sosialis). Sejak saat itu, kebijakan yang dituangkan dalam garis besar haluan negara ini, mendasari pertumbuhan ekonomi RRC hingga saat ini.

Serba perubahan pada awal “era globalisasi” menuntut peninjauan ulang atas tanggapan lama mengenai budaya bisnis suatu negara, tidak terkecuali budaya bisnis Cina. Analisis para peneliti diharuskan untuk dapat menyajikan dengan hidup dan tepat gambaran mengenai bisnis/perekonomian RRC pada jaman moderen. “Informasi, yang mirip teknologi, cepat usang dan tidak relevan lagi.” Pentingnya mempelajari cara belajar ini mengingatkan kita pada hakekat pendidikan di era globalisasi, yang mencerminkan pendekatan yang sangat praktis terhadap studi tentang Cina kontemporer.

Berangkat dari hal-hal tersebut ketertarikan penulis terhadap budaya RRC moderen, memberikan banyak pertanyaan menantang yang menarik untuk dibahas. Sebutlah kasus-kasus seperti konsistensi ideologi negara, perubahan nilai-nilai kebudayaan, jaringan bisnis Cina, problem diaspora, dan lain-lain. Namun, hal menarik yang dapat ditemukan ketika berbagai pertanyaan tersebut akan dituangkan ke dalam suatu analisis mendalam, semuanya berangkat dari satu hulu yang sama: Apa yang sedang terjadi pada Cina sekarang? Lebih jauh lagi, pertanyaan tersebut kemudian membawa kita pada suatu usaha pencarian pemahaman baru akan Cina yang ‘bertransformasi’, atau sama seperti pada pameo yang belakangan sering kita dengar : “Sang Naga telah bangkit dari tidurnya.”

Ditinjau dari angle kebudayaan, aspek terpenting dari fenomena yang terjadi di Cina moderen dapat disajikan dalam suatu titik fokus tertentu, yang diharapkan dapat memberikan pemahaman atas pertanyaan-pertanyaan dasar seperti mengapa, kapan, bagaimana, apa, dan siapa; Bidang perekonomian sebagai ujung tombak pembangunan negara melahirkan banyak elemen kebudayaan baik itu simbol-simbol, cara interaksi, distribusi konsep, jaringan bisnis, norma-etika bisnis, dan lain-lain. Ini semua yang kemudian dapat mengantarkan kita pada pemahaman terhadap keberhasilan bisnis Cina di era globalisasi. Di satu sisi, pernyataan “Budaya Bisnis Cina Moderen” yang berhasil mendongkrak kebangkitan RRC di mata dunia, mengandung makna yang sangat luas bagi para peneliti, sebagian menilainya kontradiktif, sebagian lagi menganggapnya sebagai suatu kewajaran. Dikatakan kontradiktif karena, Cina sebagai salah satu kekuatan utama komunis dunia sejak 1949 jelas-jelas mengharamkan konsep kapitalisme & individualisme dalam menjalankan negaranya. Pada kenyataannya, saat ini ladang bisnis RRC yang potensial benar-benar digarap pemerintahnya dan dibuka seluas-luasnya untuk pihak asing (tetapi masih dengan kontrol yang ketat oleh PKC). Apalagi jika kita menengok kembali pada nilai-nilai lama seperti Konfusianisme yang sangat mempengaruhi pemikiran orang Cina hingga kini, [4] keberhasilan dunia bisnis di RRC saat ini dapat dikatakan telah menyimpang sekali dari nilai-nilai lama dan mencoreng ideologi asal (komunisme). Kewajaran itu sendiri dapat dikatakan tercipta karena perkembangan jaman dan harga diri RRC yang tinggi di mata dunia internasional.

Baik itu kontradiktif maupun tidak, studi terhadap budaya bisnis Cina itu sendiri telah banyak menyita perhatian para peneliti belakangan ini. Tulisan kecil ini dibuat sebagai salah satu bahan pemahaman terhadap RRC moderen, khususnya tentang hubungan dalam bidang kebudayaan dan dunia bisnis Cina. Ruang lingkup yang digunakan adalah RRC pada era 1980-an sampai dengan 2003, di luar kota Hongkong dan Shanghai.

Budaya Bisnis Masyarakat Cina Tradisional

Pembahasan mengenai budaya bisnis RRC pada masa moderen tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan kebudayaan masyarakat Cina tradisional. Pembahasan akan aspek ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam dan sistematis.

Momentum kebangkitan para kaum bisnis Cina sudah dimulai pada akhir abad kesembilan belas, tepatnya pada era awal kejatuhan dinasti Qing. Hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya kelas komprador pada struktural masyarakat Cina saat itu. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa sebelum masa ini kaum bisnis Cina tidak/belum pernah ada. Golongan pedagang sudah dikenal di Cina sejak runtuhnya feodalisme dinasti Zhou (1122-246 SM). Saat itu dan hingga seterusnya, golongan ini eksis di masyarakat Cina, namun menempati posisi sosial yang paling rendah. Masyarakat Cina tradisional menggunakan sistem hierarkis dalam memandang nilai pekerjaan seseorang. Penekanannya kepada nilai tenaga kerja (buruh) dan nilai bahan mentah. Berikut adalah empat lapisan sosial yang terdapat pada masyarakat Cina tradisional, dari strata yang paling rendah hingga ke yang paling tinggi :

1. Kaum pedagang, pemain teater, tentara, pelacur

2. Kaum pengrajin (tukang batu, tukang kayu, dll)

3. Kaum petani

4. Kaum literati dan elit pemerintahan

Fungsi kaum pedagang pada masyarakat Cina tradisional dalam hubungannya dengan sistem strata sosial tersebut hanyalah sebatas sebagai pengelola pasar, pelatihan magang, dan ritual pemujaan. [5] Mereka tidak pernah menentang sistem sosial yang sudah berjalan seperti itu, dan berharap dapat meningkatkan status sosial keluarganya dengan mendidik anak-anaknya agar dapat menjadi bagian dari kaum terpelajar.

Siapa atau apa yang membuat sistem sosial pada masyarakat Cina tradisional berlaku seperti itu? Sistem masyarakat Cina tradisional sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai lama seperti Konfusianisme. Ajaran yang muncul pada dinasti Zhou Timur ini mengajarkan suatu ideal tentang bagaimana suatu negara seharusnya dijalankan, dengan menekankan kepada pendidikan moral berdasarkan suatu sistem yang hierarkis. Hal ini dapat kita lihat dari konsep-konsep seperti Wu-lun (lima hubungan), empat konvensi moral, dan lain-lain. Terkhusus mengenai yang disebut terakhir, Konfusius mengajarkan bahwa negara (Cina) harus dijalankan secara hierarkis, yaitu: Cina dibangun berdasarkan negara keluarga, satu organisasi sosial yang otokratis, hierarkis, dan tidak demokratis. Kemakmuran bersama dicapai dari hasil-hasil pertanian. Kestabilan suatu negara dapat dijamin dengan hierarki yang jelas. Dengan kata lain, yang lebih rendah taat kepada yang lebih tinggi, dan yang lebih tinggi menunjukkan kemurahan hati sebagai balasan terhadap kesetiaan tersebut.

Dalam konvensi moralnya Konfusius juga mengajarkan tentang paham kolektivisme. Menurutnya, kolektivisme ini menentukan status individu yang ditentukan oleh hubungannya dengan sistem hierarki. Oleh karena itu, orang yang beretika Konfusian akan bertindak sesuai dengan harapan orang lain daripada harapan/keinginannya pribadi, sehingga mereka selalu bersedia bekerjasama. Individu tidak terpisah dari struktur sosial, melainkan sebagai komponen etis dari suatu bangunan sosial yang lebih besar. Semua hal yang disebut inilah yang mendasari atas berjalannya sistem sosial pada masyarakat Cina tradisional.

Telah diketahui bahwa kaum pedagang menempati posisi terbawah dari strata sosial masyarakat Cina tradisional. Kaum yang dianggap ‘berkemampuan’ lebih, atau ‘lihai’, dan selalu bernafsu mengejar keuntungan sendiri oleh masyarakat Cina tradisional ini, jelas-jelas diposisikan sebagai golongan inferior pada masyarakat, sama seperti yang dikemukakan oleh Guo Hengshi pada sebuah esainya yang berjudul The Early Development of The Modern Chinese Business Class: “Treacherous Merchant was the usual phrase for traders or middlemen. All material innovation and prosperity was renounced by the great teaching of Confucius and his followers. From time to time, merchants were actually suppressed, especially when they appeared to mount in power.” [6] Konsep pembagian tenaga kerja pada masyarakat Cina tradisional semata-mata berdasar atas dikotomi : literati dan petani. Literati berperan dalam menjalankan pemerintahan, petani diperintah dan memproduksi hasil bumi untuk mendukung para superordinatnya. Akibatnya, prestise kaum literati pada strata sosial lebih tinggi dibanding golongan lainnya, karena mereka dikatakan ‘bekerja dengan pikiran’, dan petani yang ‘menggunakan tangannya’ menempati posisi di bawahnya. Semua aktivitas penghidupan selain pengolahan tanah dianggap tidak lazim dan tanpa dukungan moral.

II. Keunikan Budaya Bisnis Cina

Sistem ekonomi pasar sosialis yang dilakukan di RRC sejak tahun 1992 memberikan banyak sekali kemajuan bagi masyarakat Cina moderen. [7] Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa sistem ekonomi Cina yang baru memiliki keunikan yang tidak pernah ada di negara manapun di dunia, sistem ini pun memiliki beberapa elemen-elemen penting yang lahir dari setiap aktivitas berbudaya (melalui bisnis). Berikut beberapa elemen tersebut:

1. guanxi;

2. ganqing; dan

3. xinyong

II.I. Guanxi (关系)

Secara harafiah, guanxi berarti hubungan. Makna ini dapat digunakan untuk setiap jenis hubungan. Dalam budaya bisnis Cina guanxi dapat diartikan sebagai ‘koneksi’. ‘Koneksi’ di sini bermakna sebagai suatu jaringan hubungan di antara bermacam-macam personal, kelompok / badan yang saling bekerjasama dan mendukung satu sama lain. Mental para pebisnis Cina sangat dekat maknanya dengan sebuah pameo dari Barat, “You scratch my back, I’ll scratch yours.” Di mana pun, kapan pun, dalam mengurus segala hal, orang Cina selalu “kao guanxi”, artinya pakai koneksi. [8]

Tanpa memperhitungkan pengalaman seseorang atau sebuah badan di negara asalnya, guanxi adalah jaminan akan kelancaran berbisnis di Cina. Guanxi dapat meminimalisir kemungkinan gagal suatu badan dalam berbisnis di Cina dan hambatan-hambatan lainnya seperti ‘prosedur bayangan’, dan lain-lain, jika didapatkan secara tepat. Seringkali guanxi yang benar-benat tepat dihubungkan dengan pihak yang berwenang (pejabat setempat / pemerintah) yang nantinya akan sangat menentukan eksistensi badan (perusahaan) tersebut di Cina dalam jangka panjang.

Guanxi dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bisa saja terjadi dalam sebuah malam di tempat karaoke dengan pemimpin departemen pemadam kebakaran setempat, agar proposal pengajuan ruang kerja baru dengan komputerisasi yang mutakhir disetujui. Atau pada tingkat yang lebih tinggi, guanxi bisa saja berarti datangnya eksekutif perusahaan asing untuk berjabat tangan dengan menteri terkait yang menjadi kunci As dalam pengerjaan sektor industri potensial.

II.II. Ganqing (感情)

Secara harafiah ganqing berarti perasaan. Dalam budaya bisnis Cina konsep ganqing masih berhubungan dekat dengan guanxi. Ganqing merefleksikan suasana umum dari hubungan sosial dari dua orang atau dua badan yang saling berinteraksi. Seseorang dapat dikatakan memiliki ganqing yang baik jika hubungannya dengan orang lain tersebut baik, selain track-record hubungan yang baik di antara keduanya. Sedangkan ganqing yang mendalam adalah terdapatnya ikatan perasaan / hubungan batin yang dalam pada hubungan sosial itu sendiri.

Contoh dari ganqing sering ditemukan pada pernyataan-pernyataan pemerintah Cina dan seringkali salah diterjemahkan ketika diaplikasikan pada konteks ini. Perkataan atau tindakan yang dapat melukai perasaan orang Cina sepatutnya dihindari jika ingin terus bekerjasama (berbisnis) dengan mereka. Konsep ganqing juga dekat sekali maknanya dengan konsep ‘muka’ dalam budaya Cina.

Konsep ‘muka’ dalam kebudayaan Cina mengacu kepada dua hal yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu mianzi 面子 dan lianzi 脸子. Lian adalah kepercayaan masyarakat dalam karakter moral seseorang. Sedangkan mianzi merepresentasikan persepsi sosial terhadap prestise seseorang. Konsep menjaga muka sangat penting halnya dalam hubungan sosial masyarakat Cina karena muka mewakili kekuasaan dan pengaruh. Kehilangan lian berakibat pada hilangnya kepercayaan sosial terhadap seseorang. Dan kehilangan mianzi berakibat pada kehilangan wibawa dan wewenang seseorang. Contoh gampangnya, gosip tentang seseorang yang mencuri dari kas toko; Ia akan kehilangan lian bukan mianzi. Pada kejadian lainnya, memotong pembicaraan bos/atasan seseorang menyebabkannya kehilangan mianzi bukan lian.

Orang Cina berusaha sebisa mungkin menghindari suatu konflik dalam melanggengkan hubungan dengan sesamanya. Ketika mereka menghindari konflik biasanya orang Cina akan berusaha untuk tidak menyebabkan seseorang kehilangan mianzi-nya, yaitu dengan tidak memunculkan kenyataan-kenyataan yang memalukan ke hadapan publik. Sebaliknya, ketika mereka ingin menantang suatu wewenang atau orang lain dalam suatu komunitas tertentu, orang Cina akan berusaha menyebabkan orang tersebut kehilangan lian atau mianzi. Satu contoh publik akan hal ini yaitu saat Tragedi Tian’anmen 1989 di mana Wu’er Kaixi mencemooh PM Li Peng karena datang terlambat untuk bertemu dengan para demonstran. Akibatnya, Li Peng kehilangan mianzi karena dia terlihat datang terlambat dan menjadi figur pemerintah yang sangat tidak populer di mata kalangan publik Cina, khususnya menyangkut peristiwa Tian’anmen. [9] Konsep serupa juga ditemukan pada kebudayaan Jepang dan Korea.

II.III. Xinyong (信用)

Dalam istilah bahasa Inggris, xinyong disebut sebagai gentlemen’s agreement (Cheng, 1985). Xinyong dalam budaya bisnis Cina bermakna sebagai sebuah jaringan antar pribadi.

Bagi orang Cina, kepercayaan antarpribadi merupakan hal yang terpenting. Para pengusaha etnis Cina biasanya hanya berhubungan komersial dengan orang yang sudah mereka kenal. Oleh karena itu, reputasi seseorang penting artinya bagi transaksi bisnis. Dahulu, para pebisnis Cina secara pribadi akan berhubungan langsung dengan rekan-rekan bisnisnya karena hal ini akan meningkatkan kemutlakan peran pemilik di samping tetap menjaga reputasinya sebagai pemilik perusahaan. Fenomena serupa terjadi hingga kini di perusahaan-perusahaan milik etnis Cina di Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, dan lain-lain. Sebaliknya, fenomena di Cina Daratan menunjukkan bahwa kehadiran seorang pemimpin perusahaan dalam sebuah pertemuan bisnis tidak selalu signifikan, karena keputusan final tetap dipegang oleh komune/dewan eksekutif yang belum tentu hadir di pertemuan tersebut, yang bisa saja mengakibatkan suatu pertemuan bisnis dengan tema yang sama dapat terjadi berkali-kali dan mungkin sangat alot bagi pihak asing yang masuk ke dalam lingkaran mereka. [10]

Xinyong dapat tertuang dalam kontrak verbal di suatu transaksi bisnis. Penandatanganan kontrak kadang-kadang tidak diperlukan, biasanya hanya diperlukan dengan badan-badan pemerintah. Persetujuan verbal dianggap sudah cukup. Jika pihak I mengatakan akan melakukan sesuatu maka dia tidak akan ingkar. Bagi mereka ingkar adalah perbuatan yang dapat mencoreng mianzi. Jika tersebar reputasinya akan jatuh dan tidak akan ada lagi yang bersedia bisnis dengannya lagi (atau kehilangan lian).

III. Budaya Bisnis RRC pada Masa Moderen

Angin perubahan pada RRC moderen secara kebudayaan dapat dikatakan dimulai sejak kejatuhan dinasti Qing, yaitu saat pengaruh asing masuk secara masif ke daratan Cina dan mempengaruhi segala aspek kehidupan secara signifikan. Salah satu contohnya adalah dengan diberlakukannya Perjanjian Nanking yang sangat memberatkan bangsa Cina dan mengharuskan Cina untuk membuka diri terhadap dunia luar. Tercatat pada era ini dasar bagi perekonomian dan kebudayaan Cina moderen telah mengalami perubahan yang berarti. Kebudayaan lama mulai ditanggalkan dan nilai-nilai yang dianggap sudah tidak relevan lagi dienyahkan. Salah satu buktinya adalah wusi yundong (peristiwa 4 Mei 1919), yang berusaha menghapuskan Konfusianisme di Cina serta merubah dunia kesusastraan dan sosial-kebudayaan masyarakat Cina. Cina sejak dahulu penuh dengan nilai-nilai revolusioner.

Budaya bisnis Cina moderen sendiri mengalami perubahan yang signifikan sejak era tadi. Secara garis besar, gejolak di Cina pada awal abad kedua puluh memunculkan kelas baru di masyarakat Cina yang disebut dengan kelas komprador. Golongan ini bertugas mewakili hubungan dagang antara pemerintah Cina (saat itu masih dipegang Dinasti Qing) dan pihak Barat atau negara asing lainnya.[11] Saat itu, di tengah-tengah masyarakat sendiri pertentangan konsep antara bisnis dan nilai-nilai patriotisme (bukan lagi nilai moral), masih hangat sekali. Sebagian masyarakat Cina masih mengharamkan bisnis (apalagi) dengan pihak barbar/asing, sebagian lagi marah karena diinjak-injak martabatnya oleh bangsa asing sehingga mereka mencari alternatif-alternatif dalam mengatasi penghinaan semacam ini. Kelas komprador lah yang mengawali sepak terjang Cina dalam dunia bisnis moderen.

Pada perkembangannya ketika kaum komunis mutlak menguasai pemerintahan Cina daratan, dunia bisnis Cina (dalam konteks ini individu maupun badan swasta) untuk sekali lagi kembali ditekan. Segala individu maupun badan swasta yang melakukan bisnis tanpa otorisasi elit kaum komunis pasti akan dicap sebagai antek-antek kapitalis atau dengan kata lain bertentangan dengan nilai-nilai kaum revolusioner. Begitu ekstremnya tindakan kaum revolusioner Cina hingga kesusastraan Cina pun dijadikan alat propaganda untuk mendukung komunisme, salah satunya dengan menyerang para kapitalis atau individu yang dianggap sebagai oposisi. Sejak merdeka (1949) hingga sebelum diberlakukannya gaige kaifang (1979), RRC memeluk “ekonomi terencana secara pusat” yang menempatkan negara pada posisi sentral. Selama 30 tahun itulah dunia bisnis RRC stagnan.

Baru pada Desember 1978, yaitu ketika Kongres XI Partai Komunis Cina mengesahkan rumusan gaige kaifang atau kebijakan reformasi dan keterbukaan, bisnis RRC kembali menggeliat. RRC masuk pada tahap baru, jauh berbeda dibanding sebelumnya. Bahkan seorang Deng Xiaoping sekalipun menegaskan dalam evaluasinya yang dikeluarkan pada September 1982 : “Kemiskinan bukan sosialisme. Sosialisme berarti melenyapkan kemisikinan.”

III.I. Demam Bisnis Cina Moderen

Nilai-nilai bisnis masyarakat Cina berubah luar biasa sejak 1978. Sejak saat itu makin banyak masyarakat yang memandang berkarier di bidang bisnis sebagai profesi yang layak. Media mula-mula menyebut gejala ini sebagai “demam bisnis”. Terlebih pada 1979 sampai 1997, banyak orang Cina memandang bisnis sebagai jalan terbaik untuk memperoleh uang. Situasi ini juga menimpa cendekiawan Cina yang kini memilih bisnis sebagai pilihan karier terbaik dan menantang nilai tradisional yang memandang studi sebagai jalan menuju birokrasi. Pergeseran budaya ini telah menjadi pokok pembicaraan sebagian besar masyarakat Cina.

“Demam bisnis” mula-mula timbul pada 1984, yaitu ketika pasar kerja paruh waktu melibatkan banyak karyawan perusahaan milik negara, petani di pedesaan, mahasiswa, dan beberapa cendekiawan. Ledakan kedua yaitu sekitar tahun 1990, yang ditandai hengkangnya pejabat-pejabat pemerintah, kader partai, dan dosen-dosen perguruan tinggi ke sektor perdagangan.

Gejala yang dipicu oleh perubahan fundamental ini bermakna perubahan yang luar biasa pada pola kepercayaan tradisional rakyat kebanyakan dan cendekiawan Cina. “Demam bisnis” menandai berakhirnya satu nilai sosial yang telah berumur 2.000 tahun, yaitu bahwa menjadi pejabat negara adalah tujuan akhir yang wajar dari perjalanan akademis seseorang. Dalam waktu kurang dari satu generasi, peran ilmuwan/cendekiawan Cina telah bergeser dari penjaga pintu gerbang nilai Konfusian menjadi agen penggerak dan pembela perubahan sosial yang terbesar di Cina.[12]

IV. Budaya Perusahaan Cina Moderen

Globalisasi memacu setiap negara di dunia untuk terus meng-update sistem yang dimilikinya dan bersaing agar dapat terus survive, tidak terkecuali RRC. Terpengaruh oleh pandangan pemikir dan praktisi manajemen Barat, sejumlah manajer senior Cina mulai menimbang-nimbang kemungkinan untuk mengembangkan budaya perusahaan yang khas Cina untuk masa kini. Mereka menilai bahwa model yang baru harus menyempurnakan budaya tradisional maupun budaya perekonomian pasar yang kompetitif dan sedang berkembang. Sejak saat itu, muncullah identitas perusahaan Cina yang unik. Identitas tersebut mencerminkan budaya tradisional Cina dan nilai-nilai moderen yang dipengaruhi oleh perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang sangat cepat. Berikut beberapa aspek unik tersebut:

1. Susunan Organisasi - “Dua Kendali”

Perbedaan terbesar antara susunan organisasi kebanyakan perusahaan di Cina dan semua perusahaan Barat adalah adanya sistem manajemen pararel di perusahaan Cina. Yang pertama adalah sistem administrasi dan yang kedua adalah struktur kepemimpinan internal yang melibatkan orang-orang di lingkungan Partai Komunis. Manajer Cina sering menyebut sistem ini sebagai sistem “dua kendali”. Sebelum Reformasi Perusahaan pada tahun 1984, seorang sekretaris Partai Komunis mengawasi semua perusahaan Cina. Setelah 1984, seorang manajer umum juga diberi tanggung jawab mengelola perusahaan. Sejak saat itu sekretaris Partai Komunis dan manajer umum dituntut untuk memikul tanggung jawab yang sama (sistem pararel). Dengan sistem pararel, Partai Komunis mempunyai wakil hampir di setiap badan usaha milik negara, perusahaan bersama, dan perusahaan patungan. Tanggung jawab pokok Partai Komunis adalah mengawasi dan menjamin arah strategi perusahaan serta turut serta dalam pengambilan keputusan penting, terutama yang menyangkut karyawan. Di beberapa perusahaan kecil, direktur eksekutif bisa saja merangkap menjadi pimpinan perusahaan sekaligus sekretaris Partai Komunis. Akan tetapi, di kebanyakan perusahaan milik negara dan usaha patungan besar, jabatan direktur eksekutif dan sekretaris Partai Komunis dipegang oleh orang yang berbeda. Penerapan sistem pararel sering menimbulkan beda pendapat di antara kedua manajemen itu.

2. Fungsi Organisatoris - “Masyarakat Kecil”

Salah satu ciri manajemen Cina yang menonjol adalah peranan organisasi yang sangat besar dalam kehidupan, baik profesional maupun pribadi para karyawan. Kebanyakan perusahaan di Cina tidak hanya memberi kesempatan kerja dan gaji kepada para karyawan, tetapi juga harus menyediakan segala macam keperluan materiil karyawan termasuk asuransi kesehatan, perumahan, perawatan anak, sekolah, dan hiburan. Bahkan, beberapa perusahaan besar milik negara membuka toko eceran di sekitar lingkungan kerja untuk melayani para karyawan. Fungsi organisatoris perusahaan Cina serupa dengan fungsi suatu masyarakat kecil. Kebanyakan perusahaan Cina (setidaknya karyawan BUMN) mengetahui dengan jelas bahwa perusahaan yang dapat dipercaya harus memperhatikan semua segi kehidupan karyawan, termasuk lingkungan kerja dan keluarga mereka. Di samping menangani masalah pengembangan dan dan operasi perusahaan sehari-hari, seorang direktur eksekutif harus menyediakan banyak waktu dan tenaga untuk membina kesejahteraan pribadi para karyawan. Seorang direktur eksekutif yang dapat dipercaya harus terampil memimpin tim manajemen yang bertanggung jawab atas pusat perawatan anak, penyediaan fasilitas perumahan yang terbatas, dan mengatur penyediaan makanan pada kesempatan istimewa dan pesta-pesta. Bahkan, ia diharapkan bisa meredakan perselisihan keluarga atau antarpribadi yang serius. Peranan seorang manajer senior di perusahaan Cina sangat rumit.

3. Nilai-nilai perusahaan Cina

Manajemen perusahaan di Cina masih terpengaruh oleh nilai-nilai Konfusian, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui sosialisasi dalam keluarga. Walaupun pemerintah berusaha meniadakan nilai-nilai lama melalui Revolusi Kebudayaan (1964-1976), pengaruh itu masih kuat hingga kini. Berikut beberapa karakteristik yang menjadi nilai-nilai perusahaan Cina tersebut :

· Orientasi Manajemen pada “Prestasi Bersama”

Para manajer Cina memegang teguh prinsip berorientasi pada kelompok atau kepentingan bersama. Tuntutan atas pengakuan prestasi individu biasanya ditolak. Meskipun penelitian terakhir menyebutkan bahwa motivasi karyawan Cina untuk mengukir prsetasi diri menguat sejak pertengahan dekade 1990-an, tapi sikap berorientasi pada kelompok ini masih menjadi hal yang utama dalam manajemen perusahaan. Para manajer yang menganut etika manajemen non-kompetitif ini, tetap berpandangan bahwa setiap individu hendaknya bekerjasama secara selaras dengan yang lainnya sehingga mendukung organisasi tersebut.

· Ketidakpercayaan dalam organisasi

Dalam banyak organisasi para manajer Cina tidak sepenuhnya mempercayai bawahan, antara lain karena alasan nilai hierarkis. Mereka menganggap organisasi sebagai sistem keluarga . Dari sudut pandang budaya, menurut sistem ini bawahan diperlakukan sebagai “anak-anak” yang bergantung dan tidak dapat dipercayai sepenuhnya. Di sisi lain, manajer umum Cina dipandang sebagai “orangtua” yang harus menjaga dan mengawasi “anak-anak”-nya. Oleh karena itu, banyak perusahaan di RRC yang dijalankan hanya oleh satu figur ayah yang kuat. Segala keputusan penting perusahaan diambil secara mutlak oleh senior/para manajer atas perusahaan.

· Kerjasama berdasarkan kepatuhan dan pentingnya keserasian hubungan

Para manajer Cina bekerja dalam lingkungan kerja yang semi otoriter. Dengan sistem manajemen yang top-down itu, para bawahan diharapkan tunduk sepenuhnya dan menjalankan instruksi manajer mereka dengan sungguh-sungguh. Kompromi dan kepatuhan bawahan merupakan nilai budaya Cina yang fundamental. Pada dimensi yang sama, hubungan ini diharapkan dapat selalu selaras sehingga mendukung operasional organisasi tersebut. Oleh sebab itu, para manajer Cina seringkali lebih banyak memperhatikan hubungan pribadi di lingkungan kerja dibanding tugas yang ada. Pada dimensi yang lebih luas, konsep guanxi selalu menjadi acuan utama perusahaan dalam interaksinya dengan organisasi lain.

V. Budaya Bisnis RRC, Globalisasi, dan Semangat Kebanggaan Nasional

Cina adalah salah satu bangsa tertua di dunia yang memiliki harga diri dan martabat yang tinggi. Sejarah panjang yang terukir dalam perjalanan peradaban mereka mencerminkan dinamika kebudayaan yang lahir dan mati seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, tidak heran jika perubahan selalu terjadi. Berbagai kejadian domestik hingga internasional yang mempengaruhi, terbukti menempa masyarakat Cina untuk selalu beradaptasi dengan sekitarnya.

Masih hangat di benak masyarakat internasional saat Deng Xiaoping mengumumkan kebijakan pintu terbukanya pada 1978. Di daratan Cina masyarakat setempat begitu antusiasnya meneriakkan slogan reformasi. Bagaimana mungkin sebuah negara komunis totaliter yang identik dengan ejekan “Tirai Bambu” ini, tiba-tiba saja menyulap negaranya menjadi sebuah pasar ekonomi bebas hampir serupa dengan para seterunya, negara-negara Barat penganut kapitalisme? Ada dua hal signifikan yang dapat menjelaskan fenomena ini: Globalisasi dan kebanggaan nasional.

Dalam dunia moderen yang semakin sempit ini, RRC melakukan terobosan-terobosan baru dalam menjaga eksistensinya. Hal ini sangat erat berkaitan dengan globalisasi. Perlu diketahui, bahwa RRC merupakan pemain lama dalam globalisasi. Hal ini sudah dilakukannya sejak awal abad Masehi dengan dibukanya jalur sutra, dan pada Dinasti Ming mengirimkan banyak ekspedisi ke luar negri. Hanya saja, RRC dengan paradigma-nya yang inward-looking, memiliki cara yang unik dalam menjalankan globalisasi. Ketika dunia asing (Barat) menyentuh teritori dan otoritas Cina secara masif pada akhir abad ke-19, Cina mengalami perubahan yang drastis. Konsep monarki runtuh dan digantikan dengan konsep yang lebih moderen; demokrasi republik. Perkembangan terakhir yang kita ketahui kini, RRC menjalankan ekonomi pasar sosialis-nya. Menurut para elit politbiro RRC, Cina saat ini sedang mengalami tahap awal sosialisme.

Kedua, semangat kebanggaan nasional. Ketika Cina dijajah dan “dibagi-bagi” oleh bangsa Barat (juga Jepang) pada awal abad ke-20, kebencian terhadap bangsa asing semakin menjadi-jadi. Pihak Cina yang dipimpin oleh Sun Yat Sen berhasil merobohkan dinasti Qing dan mengarahkan Cina ke arah kemerdekaan dengan konsep negara yang lebih moderen dan relevan. Sangat disayangkan bahwa agresi Jepang dan konflik domestik (pertentangan kaum nasionalis-komunis) pada era ini, harus menunda kemerdekaan Cina. Setelah merdeka pada 1949, kaum komunis yang memimpin RRC, mutlak tampil sebagai penguasa tunggal. Rakyat RRC di bawah kepemimpinan Mao Zedong dipenuhi oleh gelombang “kediktatoran proletariat”, yang muncul sebagai semangat sosial dalam menghadapi kekuatan asing di Cina. Akibatnya, segala hal yang berbau Barat (atau produk kapitalisme) secara ekstrem dilarang dan dienyahkan. Dunia bisnis RRC dikontrol secara terpusat oleh pemerintah. Baru pada era Deng, RRC memeluk pendekatan yang berbeda dalam menghadapi globalisasi, namun masih dengan isu yang sama; kebanggaan nasional. RRC mencapai keajaiban ekonomi yang menakjubkan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Ladang bisnis pun digarap secara serius oleh pemerintah dan dibuka luas untuk orang asing.

Dari sudut pandang budaya, RRC saat ini mengalami begitu banyak perubahan, akan tetapi tidak semuanya merupakan nilai-nilai kebudayaan asing yang diadaptasi. Pada budaya bisnisnya, tidak sedikit orang Cina yang mensikretiskan nilai-nilai lama dengan nilai bisnis moderen. Ini semua tercermin dalam elemen kebudayaan yang muncul dalam interaksi dan operasional perusahaan/organisasi mereka.

BIBLIOGRAFI

Boisot, M. & Child J. From fiefs to clans and network capitalism: Explaining China’s emerging economic order. USA : Administrative Science Quarterly, 2000.

De Dreu, C. & Van de Vliert, E. Using conflict in organizations. Beverly Hills, CA: Sage, 1997.

Ding, D.Z. In Search of Determinants of Chinese Conflict Management Styles in Joint Ventures: An Integrated Approach. Paper, City University of Hongkong : Hongkong, 1996.

Fishman, Ted. C. China Inc. USA: Simon & Schuster Inc, 2005.

Henderson, Callum. China on The Brink. Singapore: McGraw-Hill, 1999.

http://chinese-school.netfirms.com

http://en.wikipedia.org

Kirkbride, P.S. Tang, S.F.Y. & Westwood, R.I. Chinese conflict preferences and negotiating behaviour: Cultural and Psychological influences. Organizational Studies, 12, 365-386, 1991.

Levy, Marion J., Jr & Guo Hengshi. The Rise of The Modern Chinese Business Class. New York: Institute of Pacific Relations, 1949.

Morse, H.B., The Guilds of China. New York: Longmans, Green and Company, 1932.

Triandis, H.C., McCusker, C. & Hui, C.H. Multimethod probes of individualism and collectivism. Journal of Personality and Social Psychology, 1990.

Whiteley, A. (Juli 2004). Mengelola Bisnis Pendidikan dalam Konteks Budaya Cina. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Juli 2004.

Wibowo, I. Belajar Dari Cina. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2004.

Yuan, Wang & Goodfellow, Rob. & Xin ShengZhang. Menembus Pasar Cina. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Agustus 2000.


[1]Gaige kaifang” atau reformasi dan keterbukaan oleh Deng Xiaoping.

[2] http://en.wikipedia.org/wiki/emerging superpowers-People’s Republic of China

[3] “ucapan nanxun” adalah bentuk gagasan/pemikiran dari Deng Xiaoping yang mengacu kepada solusi atas rendahnya pertumbuhan ekonomi Cina pada akhir tahun 1980-an hingga awal 1990-an. Pidato ini diucapkannya ketika mengadakan perjalanan ke selatan bersama rombongan kecil Politbiro. Saat itu, Deng Xiaoping sudah mengundurkan diri dari kepemimpinan pemerintahan RRC.

[4] Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Shengzhang, Menembus Pasar Cina, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), hlm. 89.

[5] H.B. Morse, The Guilds of China, (New York: Longmans, Green and Company, 1932), terutama bab II.

[6] Marion J. Levy & Guo Hengshi, The Rise of The Modern Chinese Business Class, (New York: Institute of Pacific Relations, 1949), hlm. 19.

[7] I. Wibowo, Belajar Dari Cina, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2004), terutama Bab II.

[8] Ibid., hlm. 177.

[10] Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Sheng Zhang, op.cit., khususnya bab IV.

[11] Pada perkembangannya, terminologi “komprador borjuis” digunakan ketua Mao dan kaum komunis RRC lainnya untuk melabeli orang atau pihak-pihak yang dianggapnya kapitalis.

[12] Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Sheng Zhang, op.cit., terutama bab II.